Pendirian Bani
Abbasiyah
Babak ketiga dalam drama besar politik
Islam dibuka oleh Abu Al-Abbas (750-754) yang berperan sebagai Pelopor Irak
menjadi panggung drama sebesar itu. Dalam khotbah penobatannya, yang
disampaikan setahun sebelumnya di Masjid Kufah (khalifah Abbasiyah pertama ini
menyebut dirinya as-Saffah) penumpah darah, yang kemudian menjadi julukannya.
Julukan itu menjadi pertanda buruk karena dinasti yang baru muncul ini
mengisyaratkan bahwa mereka lebih mengutamakan kekuatan dalam menjalankan
kebijakannya. Untuk pertama kalinya dalam sejarah Islam, disisi singgasana
khalifah tergelar karpet yang digunakan sebagai tempat eksekusi. As-Saffah
menjadi pendiri dinasti arab Islam ketiga setelah Khulafa Ar-Rasyidin dan
Dinasti Ummayah yang sangat besar dan berusia lama dari 750 M hingga 1258 M.
Penerus Abu Al-Abbas memegang
pemerintahan, meskipun mereka tidak selalu berkuasa. Orang Abbasiyah mengklaim
dirinya sebagai pengusung sejati kekhalifahan, yaitu gagasan Negara teokrasi,
yang menggantikan pemerintahan sekuler(mulk) Dinasti Ummayah.[1]
Sebagai konsep khas keagamaan yang dalam
istana kerajaannya dalam kesempatan Serimonial, seperti ketika dinobatkan
sebagai khalifah pada shalat jumat. Khalifah menggunakan juba (burdah) yang
pernah dikenakan saudara sepupunya Nabi Muhammad. Akan tetapi masa
pemerintahannya begitu singkat. As-Saffah meninggal (754-775 M) karena penyakit
cacar air ketika berusia 30-an.
Saudaranya yang juga penerusnya, Abu
Ja’far (754-775), yang mendapat julukan Al-Mansur adalah khalifah terbesar
Dinasti Abbasiyah. Meskipun bukan orang muslim yang saleh, dialah sebenarnya,
bukan As-Saffah yang benar-benar membangun dinasti baru itu. Seluruh khalifah
yang berjumlah 5 orang berasal dari garis keturunannya.
Masa kejayaan Abbasiyah terletak pada
khalifah setelah As-Saffah. Penulis mengutip Phillip K.Hitty, bahwa masa
keemasan (golden prime) yang memasukkan 10 khalifah. Hal ini berbeda dengan
Badri Yatim, yang memasukkan 7 khalifah sebagai masa kejayaan Abbasiyah. Jaih
Mubarok, memasukkan 8 khalifah sebagai kejayaan Abbasiyah. Begitu pula Harun
Nasution, hanya memasukkan 6 khalifah kedalam kategori sebagai khalifah yang
memajukan Bani Abbasiyah.
Kesepuluh khalifah tersebut : As-Saffah
(750), Al-Mansur (754), Al-Mahdi (775), Al-Hadi (785), Ar-Rasyid (786), Al-Amin
(809), Al-Ma’mun (813), Al-Mu’tashim (833), Al-Watsiq (842) dan Al-MUtawakil
(847).[2]
Dinasti Abbasiyah, seperti halnya dinasti
lain dalam sejarah Islam, mencapai masa kejayaan politik dan intelektual mereka
segera didirikan. Kekhalifahan Baghdad
yang didirikan oleh As-Saffah dan Al-Mansur mencapai masa keemasannya diantara
masa khalifah ketiga Al-Mahdi dan khalifah kesembilan Al-Watsiq, dan lebih
khusus lagi pada masa Harun Ar-Rasyid dan anaknya Al-Ma’mun. karena kehebatan
dua khalifah itulah, Dinasti Abbasiyah memiliki kesan baik dalam ingatan
public, dan menjadi dinasti paling terkenal dalam sejarah Islam. Dictum yang
dikutip oleh seorang penulis antologi, Ats-Tsa’ Alabi (w.1038) bahwa khalifah
Abbasiyah “sang pembuka”adalah Al-Mansur, “sang penengah” adalah Al-Ma’mun dan
“sang penutup” adalah Al-Mu’tadhid (893-902) adalah benar.
B.
Kemajuan-kemajuan Bani Abbasiyah
Berdasarkan perubahan pola pemerintahan
dan politik itu, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani
Abbasiyah menjadi lima periode :
1.
Periode
pertama (132 H/ 750 M – 232 H/ 847 M) disebut periode pengaruh Persia pertama.
2.
Periode
kedua ( 232 H/847 M – 334 H/945 M) disebut masa pengaruh Turki pertama
3.
Periode
ketiga (334 H/945 M – 447 H/1055 M) masa kekuasaannya dinasti Buwaih dalam
pemerintahan khalifah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia
kedua
4.
Periode
keempat (447 H/1055 M – 590 H/1194 M) masa kekuasaan dinasti Bani Saljuk dalam
pemerintahan khalifah Abbasiyah. Biasanya disebut juga dengan masa pengaruh
Turki kedua
5.
Periode
kelima (590 H/1194 M – 656 H/1258 M) masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti
lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Baghdad
Pada periode pertama, pemerintahan Bani
Abbas mencapai masa keemasannya. Secara politis, para khalifah betul-betul
tokoh yang kuat dan merupakan kekuasaan politik dan agama sekaligus. Disisi
lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga
berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan
dalam Islam.[3]
Namun setelah periode ini berakhir,
pemerintah Bani Abbas mulai menurun dibidang politik, meskipun filsafat dan
ilmu pengetahuan terus berkembang.
Masa pemerintahan Abu Al-Abbas, pendiri
dinasti ini sangat singkat yaitu dari tahun 750 M sampai 754 M. karena itu,
Pembina sebenarnya didaulat dari Abbasiyah Abu Ja’far Al- Manshur (754-775).
Dia dengan keras menghadapi lawan-lawannya dari Bani Ummayah, Khawarij, dan
juga Syiah yang merasa dikucilkan dari kekuasaan. Untuk mengamankan
kekuasaannya, tokoh-tokoh besar yang mungkin menjadi saingan baginya satu
persatu disingkirkannya. Abdullah bin Ali dan Shahih bin Ali, keduanya adalah
pamannya sendiri yang ditunjuk sebagai gubernur oleh khalifah sebelumnya di
Syria dan Mesir, karena tidak bersedia membaiatnya dibunuh oleh Abu Muslim Al-
Khurasani atas perintah Abu Ja’far. Abu Muslim sendiri karena dikhawatirkan
akan menjadi pesaing baginya, dihukum mati pada tahun 755 M.
Pada mulanya, ibu kota Negara
Al-Hasyimiyah dekat Kufah. Namun, untuk lebih memantapkan dan menjaga
stabilitas Negara yang baru berdiri itu, Al-Manshur memindahkan ibu kota Negara
kekota yang baru dibangunnya, Baghdad dekat bekas ibu kota Persia. Di ibu kota
baru ini, Al-Manshur melakukan konsolidasi dan penertiban pemerintahannya. Dia
mengangkat sejumlah untuk menjabat dilembaga eksekutif dan yudikatif.
Khalifah Al-Manshur berusaha menakhlukkan
kembali daerah-daerah yang sebelumnya membebaskan diri dari pemerintah pusat,
dan memantapkan keamanan didaerah perbatasan. Di antara usaha-usaha tersebut
adalah merebut benteng-benteng di Asia, kota Malatia, wilayah Coppadocia, dan
Cicilia pada tahun 756-758 M ke utara, bala tentaranya melintasi pegunungan
Taurus dan mendekati dengan selat Bosporus. Dipihak lain, dia berdamai dengan
kaisar Constantine V dan selama genjatan senjata 758-765 M, Bizantium membayar
upeti tahunan. Bala tentaranya juga berhadapan dengan pasukan Turki khazar di
Kaukakus, Daylami di laut Kaspia, Turki dibagian lain Oksus dan India.
Kalau dasar-dasar daulat
pemerintahan Abbasiyah diletakkan dan dibangun oleh Abu Al-Abbas dan Abu Ja’far
Al-Manshur, maka puncak keemasan dari dinasti ini berada pada tujuh khalifah
sesudahnya, yaitu Al-Mahdi (775-785 M), Al-Hadi (775-786 M), Al-Hadi (775-786
M), Harun Ar-Rasyid (786-809 M), Al-Ma’mun (813-833 M), Al-Mu’tashim (833-842
M), Al-Watsiq (843-847 M), dan Al-Muttawakil (847-861 M). pada masa Al-Mahdi
masa perekonomian mulai meningkat dengan peningkatan sektor pertanian, melalui
irigasi dan peningkatan hasil pertambangan seperti emas, perak, tembaga, dan
besi. Terkecuali itu dagang transit antara Timur dan Barat juga membawa
kekayaan. Basrah menjadi pelabuhan yang
penting.[4]
Popularitas daulah
Abbasiyah mencapai puncaknya dizaman khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M) dan
putranya Al-Ma’mun (813-833 M). kekayaan yang banyak dimanfaatkan Harun
Al-Rasyid untuk keperluan sosial.Rumah sakit, lembaga pendidikan dokter dan farmasi
didirikan.
Pada masanya, sudah
terdapat paling tidak sekitar 800 orang dokter. Disamping itu,
pemandian-pemandian umum yang dibangun. Tingkat kemakmuran yang paling tinggi
terwujud pada zaman khalifah ini. Kesejahteraan sosial, kesehatan, ilmu pengetahuan,
dan kebudayaan serta kesusastraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa
inilah Negara islam menempatkan dirinya
sebagai Negara terkuat dan tak tertandingi. Al-ma’mun, pengganti Al-Rasyid
dikenal sebagai khalifah yang sangat cinta kepada ilmu. Pada masa
pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing digalakkan. Untuk menerjemahkan
buku-buku Yunani, ia menggaji penerjemah dari golongan Kristen dan penganut
agama lain yang ahli. Ia juga banyak mendirikan sekolah, salah satu karya
besarnya yang terpenting adalah pembangunan Bait al-Hikmah, pusat penerjemahan
yang berungsi sebagai perguruan tinggi dalam perpustakaan yang besar. [5]
Pada masa Al-Ma’mun
inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Al-Mu’tashim khalifah
berikutnya (833-842 M), member peluang besar kepada orang-orang Turki untuk
masuk dalam pemerintahan, ketertiban mereka dimulai sebagai tentara pengawal.
Tidak seperti pada masa Daulat Umayyah, Dinasti Abbasiyah mengadakan perubahan
sistem ketentaraan. Praktik orang-orang muslim mengikuti perang berhenti.
Tentara dibina secara khusus menjadi prajurit-prajurit proesional. Dengan
demikian, kekuatan militer dinasti Bani Abbas menjadi sangat kuat.
Dari gambaran diatas
terlihat bahwa Dinasti Bani Abbas pada periode pertama lebih menekankan
pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam daripada perluasan wilayah. Inilah
perbedaan pokok antara Bani Abbas dan Bani Umayyah. Disamping itu, ada pula
cirri-ciri yang menonjol dinasti Bani Abbasiyah yang tidak terdapat di zaman
Bani Umayyah, diantaranya yaitu :
1. Dengan berpindahnya ibu
kota ke Baghdad, pemerintahan Bani Abbas menjadi jauh dari pengaruh Arab.
Sedangkan dinasti Bani Umayyah sangat berorientasi kepada Arab. Dalam periode
pertama dan ketiga, pemerintahan Abbasiyah yang mempunyai pengaruh kebudayaan
Persia yang sangat kuat dan pada periode kedua dan keempat, bangsa Turki sangat
dominan dalam politik dan pemerintahan Dinasti ini.
2. Dalam penyelenggaraan
Negara, pada masa Bani Abbas ada jabatan wazir yang membawahi kepala-kepala departemen.
Jabatan ini tidak ada didalam pemerintahan Bani Umayyah.
3. Ketentaraan professional
baru terbentuk pada masa pemerintahan Bani Abbas. Sebelumnya tidak ada tentara
khusus yang proesional.[6]
Puncak perkembangan
kebudayaan dan pemikiran Islam terjadi pada masa pemerintahan Bani Abbas. Akan
tetapi, tidak berarti seluruhnya berawal kreativitas penguasa Bani Abbas
sendiri. Sebagian diantaranya sudah dimulai sejak awal kebangkitan Islam. Dalam
bidang pendidikan, misalnya diawal islam, lembaga pendidikan sudah berkembang.
Ketika itu, lembaga pendidikan terdiri dari dua tingkat :
1. Maktab/kuttab dan masjid,
yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal dasar-dasar
bacaan, hitung dan tulis, dan tempat para remaja belajar dasar-dasar ilmu
agama, seperti : tafsir, hadis, fiqih dan bahasa
2. Tingkat pendalaman. Para
pelajar yang ingin memperdalam ilmunya, pergi keluar daerah menuntut ilmu
kepada seseorang atau beberapa orang ahli dalam bidangnya masing-masing. Pada
umumnya, ilmu yang dituntut adalah ilmu-ilmu agama.
Disamping itu, kemajuan
itu paling tidak juga ditentukan oleh dua hal yaitu :
1. Terjadinya asimilasi
antara bangsa Arab dengan bangsa yang lainyang lebih dahulu mengalami
perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada masa pemrintahan Bani Abbas,
bangsa-bangsa non-Arab banyak yang masuk Islam. Asimilasi berlangsung secara
efektif dan bernilai guna. Bangsa-bangsa itu member saham tertentu dalam
perkembangan islam.
2. Gerakan terjemahan yang
berlangsung dalam tiga fase :
Ø Fase pertama, pada masa
khalifah Al-Mansur hingga Harun Al- Rasyid. Pada fase ini yang banyak
diterjemahkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan manthiq.
Ø Fase kedua berlangsung
mulai khalifah Al-Ma’mun hingga tahun 300 H. buku-buku yang banyak
diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat dan kedokteran.
Ø Fase ketiga berlangsung
setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas. Bidang-bidang
ilmu yang diterjemahkan semakin luas.[7]
C.Kemunduran
Bani Abbasiyah
ü Faktor-faktor
kemunduan Bani Abbasiyah
a. factor intern
1. Kemewahan hidup
dikalangan penguasa.
Perkembangan peradaban dan kebudayaan serta kemajuan
besar yang dicapai Dinasti Abbasiyah pada periode pertama telah mendorong para
penguasa untuk hidup mewah., bahkan cenderung mencolok. Setiap khalifah
cenderung ingin lebih hidup mewah daripada pendahuluannya. Kondisi ini memberi
peluang kepada tentara professional asal Turki untuk mengambil alih kendali
pemerintah.
2. Perebutan kekuasaan
antara keluarga Bani Abbasiyah
Perebutan kekuasaan dimulai sejak masa Al-Ma’mun
dengan Al-Min. Ditambah dengan masuknya unsur Turki dan Persi. Setelah
Al-Mutawakil waat, pergantian khalifah terjadi secara tidak wajar.
3. konflik keagamaan
Sejak terjadinya konflik antara Muawiyah dan khalifah
Ali yang berakhir dengan lahirnya tiga kelompok umat : pengikut Syi’ah dan
Khawarij, ketiga kelompok umat ini
senantiasa berebut pengaruh.
b.faktor eksternal
1) Banyaknya pemberontakan
Banyaknya daerah yang tidak dikuasai oleh khalifah,
akibat kebijakan yang lebih menekankan pada pembinaan peradaban dan kebudayaan
islam. Secara real, daerah-daerah itu berada dibawah kekuasaan
gubernur-gubernur yang bersangkutan.
2) Dominasi Bangsa Turki
Sejak abad kesembilan, kekuatan militer Abbasiyah
mulai mengalami kemunduran. Sebagai gantinya, para penguasa Abbasiyah
mempekerjakan orang-orang professional dibidang kemiliteran, khususnya tentar
Turki, kemudian mengangkatnya menjadi panglima-panglima
3) Dominasi Bangsa Persia
Masa kekuasaan Bangsa Persia (Bani Buyah) berjalan
lebih dari 150 tahun. Pada masa ini, kekuasaan pusat di Baghdad dilucuti dan
diberbagai daerah muncul Negara-negara baru yang berkuasa dan membuat kemajuan
dan perkembangan baru.
Pada awal pemerintahan Bani Abbasiyah, keturunan persi
bekerja sama dalam mengelola pemerintahan dan Dinasti Abbasiyah mengalami
kemajuan yang cukup pesat dalam berbagai bidang.[8]
D.Sebab-sebab
Kehancuran Dinasti Abbasiyah
1. factor intern
a. Lemahnya semangat
patriotisme Negara menyebabkan jiwa jihad yang diajarkan islam tidak berdaya
lagi menahan segala amukan yang datang, baik dari dalam maupun dari luar.
b. Hilangnya sifat amanah
dalam segala perjanjian yang dibuat, sehingga kerusakan moral dan kerendahan
budi menghancurkan sifat-sifat baik yang mendukung Negara selama ini.
c. Tidak percaya pada
kekuatan sendiri.Dalam mengatasi berbagai pemberontakan,khalifah
menguatkankekuatan asing. Akibatnya,kekuatan asing tersebut memanfaatkan
kelemahan khalifah.
d. Fanatic mazhab persaingan
dan perebutan tiada henti antara Abbasiyah dan Alawiyah menyebabkan kekuatan
umat Islam menjadi lemah, bahkan hancur berkeping-keping.
e. Kemerosotan ekonomi
terjadi karena banyaknya biaya yang digunakan untuk anggaran tentara, banyaknya
pemberontakan dan kebiasaan para penguasa berfoya-foya.
2. Faktor ekstern
Disintegrasi, akibat
kebijakan untuk lebih mengutamakan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam
daripada politik, provinsi-provinsi tertentu dipinggiran mulai melepaskan
genggaman penguasa Bani Abbasiyah.
ü Perang
zab dan penghancuran pemerintahan Bani Abbasiyah
Setelah keberangkatan
pasukannya untuk memerangi Marwan bin Muhammad, khalifah terakhir Bani Umayyah
yang saat itu bersama dengan tentaranya berada di Zab, sebuah kawasan didekat
Mosul. Marwan dikalahkan dalam perang ini dan berpindah-pindah dari satu tempat
ke tempat lain hingga akhirnya berhasil dibunuh oleh pasukan Abbasiyah pada
tahun 132H/ 749 M. Dengan demikian, semua wilayah pemerintahan berada dibawah
kendali Bani Abbasiyah kecuali Andalusia.[9]
[1]
Aen, Nurul.2008. Sejarah Peradaban Islam.
Bandung:Pustaka Setia. Hal.128-129
[2]
Aen, Nurul.2008. Sejarah Peradaban Islam.
Bandung:Pustaka Setia. Hal.128-129
[3]
Yatim,Badri.2008.Sejarah Peradaban Islam.
Jakarta : Raja Grafindo Persada. Hal.
[4]
Yatim, Badri. 2008. Sejarah Peradaban
Islam. Jakarta: Raja Gratindo Persada. Hal. 49-55
[5]
Taufik Abdullah dkk. (ed), senja masa keemasan, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van
[6]
Taufik Abdullah dkk. (ed), senja masa keemasan, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van
[7]
Yatim, Badri.2008. sejarah Peradaban Islam. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Hal 49-55
[8]
Mahmud, Yunus. Sejarah pendiikan islam. Jakarta : PT Hidakarya agung
[9]
Al-Usairy, Admad.2004.Sejarah Islam. Jakarta: Abar Media Eka Sarana 218
No comments:
Post a Comment