Sejarah Bani Abbasiyah - AKSI PINTAR

Wednesday, June 20, 2018

Sejarah Bani Abbasiyah


Pendirian Bani Abbasiyah
Babak ketiga dalam drama besar politik Islam dibuka oleh Abu Al-Abbas (750-754) yang berperan sebagai Pelopor Irak menjadi panggung drama sebesar itu. Dalam khotbah penobatannya, yang disampaikan setahun sebelumnya di Masjid Kufah (khalifah Abbasiyah pertama ini menyebut dirinya as-Saffah) penumpah darah, yang kemudian menjadi julukannya. Julukan itu menjadi pertanda buruk karena dinasti yang baru muncul ini mengisyaratkan bahwa mereka lebih mengutamakan kekuatan dalam menjalankan kebijakannya. Untuk pertama kalinya dalam sejarah Islam, disisi singgasana khalifah tergelar karpet yang digunakan sebagai tempat eksekusi. As-Saffah menjadi pendiri dinasti arab Islam ketiga setelah Khulafa Ar-Rasyidin dan Dinasti Ummayah yang sangat besar dan berusia lama dari 750 M hingga 1258 M.
Penerus Abu Al-Abbas memegang pemerintahan, meskipun mereka tidak selalu berkuasa. Orang Abbasiyah mengklaim dirinya sebagai pengusung sejati kekhalifahan, yaitu gagasan Negara teokrasi, yang menggantikan pemerintahan sekuler(mulk) Dinasti Ummayah.[1]
Sebagai konsep khas keagamaan yang dalam istana kerajaannya dalam kesempatan Serimonial, seperti ketika dinobatkan sebagai khalifah pada shalat jumat. Khalifah menggunakan juba (burdah) yang pernah dikenakan saudara sepupunya Nabi Muhammad. Akan tetapi masa pemerintahannya begitu singkat. As-Saffah meninggal (754-775 M) karena penyakit cacar air ketika berusia 30-an.
Saudaranya yang juga penerusnya, Abu Ja’far (754-775), yang mendapat julukan Al-Mansur adalah khalifah terbesar Dinasti Abbasiyah. Meskipun bukan orang muslim yang saleh, dialah sebenarnya, bukan As-Saffah yang benar-benar membangun dinasti baru itu. Seluruh khalifah yang berjumlah 5 orang berasal dari garis keturunannya.
Masa kejayaan Abbasiyah terletak pada khalifah setelah As-Saffah. Penulis mengutip Phillip K.Hitty, bahwa masa keemasan (golden prime) yang memasukkan 10 khalifah. Hal ini berbeda dengan Badri Yatim, yang memasukkan 7 khalifah sebagai masa kejayaan Abbasiyah. Jaih Mubarok, memasukkan 8 khalifah sebagai kejayaan Abbasiyah. Begitu pula Harun Nasution, hanya memasukkan 6 khalifah kedalam kategori sebagai khalifah yang memajukan Bani Abbasiyah.
Kesepuluh khalifah tersebut : As-Saffah (750), Al-Mansur (754), Al-Mahdi (775), Al-Hadi (785), Ar-Rasyid (786), Al-Amin (809), Al-Ma’mun (813), Al-Mu’tashim (833), Al-Watsiq (842) dan Al-MUtawakil (847).[2]
Dinasti Abbasiyah, seperti halnya dinasti lain dalam sejarah Islam, mencapai masa kejayaan politik dan intelektual mereka segera didirikan. Kekhalifahan  Baghdad yang didirikan oleh As-Saffah dan Al-Mansur mencapai masa keemasannya diantara masa khalifah ketiga Al-Mahdi dan khalifah kesembilan Al-Watsiq, dan lebih khusus lagi pada masa Harun Ar-Rasyid dan anaknya Al-Ma’mun. karena kehebatan dua khalifah itulah, Dinasti Abbasiyah memiliki kesan baik dalam ingatan public, dan menjadi dinasti paling terkenal dalam sejarah Islam. Dictum yang dikutip oleh seorang penulis antologi, Ats-Tsa’ Alabi (w.1038) bahwa khalifah Abbasiyah “sang pembuka”adalah Al-Mansur, “sang penengah” adalah Al-Ma’mun dan “sang penutup” adalah Al-Mu’tadhid (893-902) adalah benar.
B. Kemajuan-kemajuan Bani Abbasiyah
Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik itu, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbasiyah menjadi lima periode :
1.     Periode pertama (132 H/ 750 M – 232 H/ 847 M) disebut periode pengaruh Persia pertama.
2.     Periode kedua ( 232 H/847 M – 334 H/945 M) disebut masa pengaruh Turki pertama
3.     Periode ketiga (334 H/945 M – 447 H/1055 M) masa kekuasaannya dinasti Buwaih dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua
4.     Periode keempat (447 H/1055 M – 590 H/1194 M) masa kekuasaan dinasti Bani Saljuk dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah. Biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua
5.     Periode kelima (590 H/1194 M – 656 H/1258 M) masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Baghdad
Pada periode pertama, pemerintahan Bani Abbas mencapai masa keemasannya. Secara politis, para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan kekuasaan politik dan agama sekaligus. Disisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam.[3]
Namun setelah periode ini berakhir, pemerintah Bani Abbas mulai menurun dibidang politik, meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan terus berkembang.
Masa pemerintahan Abu Al-Abbas, pendiri dinasti ini sangat singkat yaitu dari tahun 750 M sampai 754 M. karena itu, Pembina sebenarnya didaulat dari Abbasiyah Abu Ja’far Al- Manshur (754-775). Dia dengan keras menghadapi lawan-lawannya dari Bani Ummayah, Khawarij, dan juga Syiah yang merasa dikucilkan dari kekuasaan. Untuk mengamankan kekuasaannya, tokoh-tokoh besar yang mungkin menjadi saingan baginya satu persatu disingkirkannya. Abdullah bin Ali dan Shahih bin Ali, keduanya adalah pamannya sendiri yang ditunjuk sebagai gubernur oleh khalifah sebelumnya di Syria dan Mesir, karena tidak bersedia membaiatnya dibunuh oleh Abu Muslim Al- Khurasani atas perintah Abu Ja’far. Abu Muslim sendiri karena dikhawatirkan akan menjadi pesaing baginya, dihukum mati pada tahun 755 M.
Pada mulanya, ibu kota Negara Al-Hasyimiyah dekat Kufah. Namun, untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas Negara yang baru berdiri itu, Al-Manshur memindahkan ibu kota Negara kekota yang baru dibangunnya, Baghdad dekat bekas ibu kota Persia. Di ibu kota baru ini, Al-Manshur melakukan konsolidasi dan penertiban pemerintahannya. Dia mengangkat sejumlah untuk menjabat dilembaga eksekutif dan yudikatif.
Khalifah Al-Manshur berusaha menakhlukkan kembali daerah-daerah yang sebelumnya membebaskan diri dari pemerintah pusat, dan memantapkan keamanan didaerah perbatasan. Di antara usaha-usaha tersebut adalah merebut benteng-benteng di Asia, kota Malatia, wilayah Coppadocia, dan Cicilia pada tahun 756-758 M ke utara, bala tentaranya melintasi pegunungan Taurus dan mendekati dengan selat Bosporus. Dipihak lain, dia berdamai dengan kaisar Constantine V dan selama genjatan senjata 758-765 M, Bizantium membayar upeti tahunan. Bala tentaranya juga berhadapan dengan pasukan Turki khazar di Kaukakus, Daylami di laut Kaspia, Turki dibagian lain Oksus dan India.
Kalau dasar-dasar daulat pemerintahan Abbasiyah diletakkan dan dibangun oleh Abu Al-Abbas dan Abu Ja’far Al-Manshur, maka puncak keemasan dari dinasti ini berada pada tujuh khalifah sesudahnya, yaitu Al-Mahdi (775-785 M), Al-Hadi (775-786 M), Al-Hadi (775-786 M), Harun Ar-Rasyid (786-809 M), Al-Ma’mun (813-833 M), Al-Mu’tashim (833-842 M), Al-Watsiq (843-847 M), dan Al-Muttawakil (847-861 M). pada masa Al-Mahdi masa perekonomian mulai meningkat dengan peningkatan sektor pertanian, melalui irigasi dan peningkatan hasil pertambangan seperti emas, perak, tembaga, dan besi. Terkecuali itu dagang transit antara Timur dan Barat juga membawa kekayaan. Basrah menjadi  pelabuhan yang penting.[4]
Popularitas daulah Abbasiyah mencapai puncaknya dizaman khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M) dan putranya Al-Ma’mun (813-833 M). kekayaan yang banyak dimanfaatkan Harun Al-Rasyid untuk keperluan sosial.Rumah sakit, lembaga pendidikan dokter dan farmasi didirikan.
Pada masanya, sudah terdapat paling tidak sekitar 800 orang dokter. Disamping itu, pemandian-pemandian umum yang dibangun. Tingkat kemakmuran yang paling tinggi terwujud pada zaman khalifah ini. Kesejahteraan sosial, kesehatan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusastraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa inilah  Negara islam menempatkan dirinya sebagai Negara terkuat dan tak tertandingi. Al-ma’mun, pengganti Al-Rasyid dikenal sebagai khalifah yang sangat cinta kepada ilmu. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing digalakkan. Untuk menerjemahkan buku-buku Yunani, ia menggaji penerjemah dari golongan Kristen dan penganut agama lain yang ahli. Ia juga banyak mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Bait al-Hikmah, pusat penerjemahan yang berungsi sebagai perguruan tinggi dalam perpustakaan yang besar. [5]
Pada masa Al-Ma’mun inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Al-Mu’tashim khalifah berikutnya (833-842 M), member peluang besar kepada orang-orang Turki untuk masuk dalam pemerintahan, ketertiban mereka dimulai sebagai tentara pengawal. Tidak seperti pada masa Daulat Umayyah, Dinasti Abbasiyah mengadakan perubahan sistem ketentaraan. Praktik orang-orang muslim mengikuti perang berhenti. Tentara dibina secara khusus menjadi prajurit-prajurit proesional. Dengan demikian, kekuatan militer dinasti Bani Abbas menjadi sangat kuat. 
Dari gambaran diatas terlihat bahwa Dinasti Bani Abbas pada periode pertama lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam daripada perluasan wilayah. Inilah perbedaan pokok antara Bani Abbas dan Bani Umayyah. Disamping itu, ada pula cirri-ciri yang menonjol dinasti Bani Abbasiyah yang tidak terdapat di zaman Bani Umayyah, diantaranya yaitu :
1.     Dengan berpindahnya ibu kota ke Baghdad, pemerintahan Bani Abbas menjadi jauh dari pengaruh Arab. Sedangkan dinasti Bani Umayyah sangat berorientasi kepada Arab. Dalam periode pertama dan ketiga, pemerintahan Abbasiyah yang mempunyai pengaruh kebudayaan Persia yang sangat kuat dan pada periode kedua dan keempat, bangsa Turki sangat dominan dalam politik dan pemerintahan Dinasti ini.
2.     Dalam penyelenggaraan Negara, pada masa Bani Abbas ada jabatan wazir yang membawahi kepala-kepala departemen. Jabatan ini tidak ada didalam pemerintahan Bani Umayyah.
3.     Ketentaraan professional baru terbentuk pada masa pemerintahan Bani Abbas. Sebelumnya tidak ada tentara khusus yang proesional.[6]
Puncak perkembangan kebudayaan dan pemikiran Islam terjadi pada masa pemerintahan Bani Abbas. Akan tetapi, tidak berarti seluruhnya berawal kreativitas penguasa Bani Abbas sendiri. Sebagian diantaranya sudah dimulai sejak awal kebangkitan Islam. Dalam bidang pendidikan, misalnya diawal islam, lembaga pendidikan sudah berkembang. Ketika itu, lembaga pendidikan terdiri dari dua tingkat :
1.     Maktab/kuttab dan masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan, hitung dan tulis, dan tempat para remaja belajar dasar-dasar ilmu agama, seperti : tafsir, hadis, fiqih dan bahasa
2.     Tingkat pendalaman. Para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya, pergi keluar daerah menuntut ilmu kepada seseorang atau beberapa orang ahli dalam bidangnya masing-masing. Pada umumnya, ilmu yang dituntut adalah ilmu-ilmu agama.
Disamping itu, kemajuan itu paling tidak juga ditentukan oleh dua hal yaitu :
1.     Terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa yang lainyang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada masa pemrintahan Bani Abbas, bangsa-bangsa non-Arab banyak yang masuk Islam. Asimilasi berlangsung secara efektif dan bernilai guna. Bangsa-bangsa itu member saham tertentu dalam perkembangan islam.
2.     Gerakan terjemahan yang berlangsung dalam tiga fase :
Ø Fase pertama, pada masa khalifah Al-Mansur hingga Harun Al- Rasyid. Pada fase ini yang banyak diterjemahkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan manthiq.
Ø Fase kedua berlangsung mulai khalifah Al-Ma’mun hingga tahun 300 H. buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat dan kedokteran.
Ø Fase ketiga berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas. Bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin luas.[7]
C.Kemunduran Bani Abbasiyah
ü Faktor-faktor kemunduan Bani Abbasiyah
a. factor intern
1.    Kemewahan hidup dikalangan penguasa.
Perkembangan peradaban dan kebudayaan serta kemajuan besar yang dicapai Dinasti Abbasiyah pada periode pertama telah mendorong para penguasa untuk hidup mewah., bahkan cenderung mencolok. Setiap khalifah cenderung ingin lebih hidup mewah daripada pendahuluannya. Kondisi ini memberi peluang kepada tentara professional asal Turki untuk mengambil alih kendali pemerintah.
2.     Perebutan kekuasaan antara keluarga Bani Abbasiyah
Perebutan kekuasaan dimulai sejak masa Al-Ma’mun dengan Al-Min. Ditambah dengan masuknya unsur Turki dan Persi. Setelah Al-Mutawakil waat, pergantian khalifah terjadi secara tidak wajar.
3.     konflik keagamaan
Sejak terjadinya konflik antara Muawiyah dan khalifah Ali yang berakhir dengan lahirnya tiga kelompok umat : pengikut Syi’ah dan Khawarij, ketiga kelompok umat ini  senantiasa berebut pengaruh.
b.faktor eksternal
1)    Banyaknya pemberontakan
Banyaknya daerah yang tidak dikuasai oleh khalifah, akibat kebijakan yang lebih menekankan pada pembinaan peradaban dan kebudayaan islam. Secara real, daerah-daerah itu berada dibawah kekuasaan gubernur-gubernur yang bersangkutan.
2)    Dominasi Bangsa Turki
Sejak abad kesembilan, kekuatan militer Abbasiyah mulai mengalami kemunduran. Sebagai gantinya, para penguasa Abbasiyah mempekerjakan orang-orang professional dibidang kemiliteran, khususnya tentar Turki, kemudian mengangkatnya menjadi panglima-panglima
3)    Dominasi Bangsa Persia
Masa kekuasaan Bangsa Persia (Bani Buyah) berjalan lebih dari 150 tahun. Pada masa ini, kekuasaan pusat di Baghdad dilucuti dan diberbagai daerah muncul Negara-negara baru yang berkuasa dan membuat kemajuan dan perkembangan baru.
Pada awal pemerintahan Bani Abbasiyah, keturunan persi bekerja sama dalam mengelola pemerintahan dan Dinasti Abbasiyah mengalami kemajuan yang cukup pesat dalam berbagai bidang.[8]
D.Sebab-sebab Kehancuran Dinasti Abbasiyah
1. factor intern
a.     Lemahnya semangat patriotisme Negara menyebabkan jiwa jihad yang diajarkan islam tidak berdaya lagi menahan segala amukan yang datang, baik dari dalam maupun dari luar.
b.     Hilangnya sifat amanah dalam segala perjanjian yang dibuat, sehingga kerusakan moral dan kerendahan budi menghancurkan sifat-sifat baik yang mendukung Negara selama ini.
c.      Tidak percaya pada kekuatan sendiri.Dalam mengatasi berbagai pemberontakan,khalifah menguatkankekuatan asing. Akibatnya,kekuatan asing tersebut memanfaatkan kelemahan khalifah.
d.     Fanatic mazhab persaingan dan perebutan tiada henti antara Abbasiyah dan Alawiyah menyebabkan kekuatan umat Islam menjadi lemah, bahkan hancur berkeping-keping.
e.     Kemerosotan ekonomi terjadi karena banyaknya biaya yang digunakan untuk anggaran tentara, banyaknya pemberontakan dan kebiasaan para penguasa berfoya-foya.
2. Faktor ekstern
Disintegrasi, akibat kebijakan untuk lebih mengutamakan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam daripada politik, provinsi-provinsi tertentu dipinggiran mulai melepaskan genggaman penguasa Bani Abbasiyah.
ü Perang zab dan penghancuran pemerintahan Bani Abbasiyah
Setelah keberangkatan pasukannya untuk memerangi Marwan bin Muhammad, khalifah terakhir Bani Umayyah yang saat itu bersama dengan tentaranya berada di Zab, sebuah kawasan didekat Mosul. Marwan dikalahkan dalam perang ini dan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain hingga akhirnya berhasil dibunuh oleh pasukan Abbasiyah pada tahun 132H/ 749 M. Dengan demikian, semua wilayah pemerintahan berada dibawah kendali Bani Abbasiyah kecuali Andalusia.[9]



[1] Aen, Nurul.2008. Sejarah Peradaban Islam. Bandung:Pustaka Setia. Hal.128-129
[2] Aen, Nurul.2008. Sejarah Peradaban Islam. Bandung:Pustaka Setia. Hal.128-129
[3] Yatim,Badri.2008.Sejarah Peradaban Islam. Jakarta : Raja Grafindo Persada. Hal.
[4] Yatim, Badri. 2008. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Gratindo Persada. Hal. 49-55
[5] Taufik Abdullah dkk. (ed), senja masa keemasan, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van
[6] Taufik Abdullah dkk. (ed), senja masa keemasan, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van
[7] Yatim, Badri.2008. sejarah Peradaban Islam. Jakarta : Raja Grafindo Persada. Hal 49-55
[8] Mahmud, Yunus. Sejarah pendiikan islam. Jakarta : PT Hidakarya agung
[9] Al-Usairy, Admad.2004.Sejarah Islam. Jakarta: Abar Media Eka Sarana 218

No comments:

Post a Comment