Sejarah Ali bin Abi Thalib - AKSI PINTAR

Saturday, June 16, 2018

Sejarah Ali bin Abi Thalib



A.    Proses Pengangkatan Ali Bin Abi Thalib
            Pengukuhan ali menjadi khalifah  tidak semulus pengukuhan tiga orang khalifah sebelumnya. Ali di bai’at di tengah-tengah suasana bergabung atas meninggalkan utsman, pertentangan dan kekacauan. Serta kebingungan umat islam madinah. Sebab, kaum pemberontak yang membunuh utsman mendaulat Ali supaya bersedia dibai’at menjadi khalifah. Setelah utsman membunuh, kum pemberontak mendatangi para sahabat senior satu persatu yang ada di kota madinah, seperti Ali bin abi Thalib, Thathah, Zubair, Saad Bin Abi Waqqash, dan Abdullah bin Umar bin menjadi khalifah.
Ia didatangi beeberapa kali oleh kelompok-kelompok terebut agar bersedia di bai’at menjadi khalifah. Namun, Ali menolak. Sebab, ia meghendaki agar urusan itu diselesaikan melalui musyarawah dan mendapat persetujuan dari sahabat-sahabat senior terkemuka. Akan tetapi, setelah masa rakyat mengemukakan bahwa umat islam segera perlu mempunyai pemimpin agar tidak terjadi kekacauan yang lebih besar, akhirnya Ali bersedia di bai’at menjadi khalifah.[1]
            Dibai’at oleh mayoritas rakyat dari muhajirin dan anshar serta para tokoh sahabat, seperti Thalah dan Zubair, tetapi ada beberapa orang sahabat senior, seperti Abdullah bin Ummar bin Khattab, Muhammad bin Maslamah, Saad bin Abi Waqqas, Hassan bin Tsabit, dan Abdullah bin Salam yangb waktu itu berada di madinah, tidak mau ikut  memba’it Ali.
            Saad misalnya bersedia berbai’at kalu seluruh rakyat adalah sudah berkumpul Mengenai Thalah Zubair diriwayatkan, mereka bersedia berbai’at tetapi terpaksa. Riwayat lain menyatakan mereka bersedia membai’at kalu nanti mereka diangkat menjadi gubernur di kufah dan basrah.
  
Akan tetapi, riwayat lain menyatakan bahwa Thalhah dan Zubair bersama kaum Anshar dan muhajirinlah yang meminta kepada Ali agar bersedia di bai’at menjadi khalifah. Mereka menyatakan bahwa mereka tidak punya pilihan lain, kecuali memilih Ali.
            Dengan demikian, Ali tidak dibai’at oleh kaum muslimin secara aklamasi karena banyak sahabat senior ketika itu tidak berada di kota madinah, sehingga umat islam tidak hanya berada di tanah Hijaz (mekah, madinah, dan Thaif), tetapi untuk membai’at Ali dan menunjukan sikap konfrontatif adalah muawiyah bin Abi Sufyan, keluarga utsman dan gubernur Syam, alasan yang dikemukakan karena menurutnya Ali bertanggung jawab atas terbunuhnya utsman.
            Setelah Ali bin Abi Thalib dibai’at menjadi khalifah di mesjid Nabawi, ia menyampaikan pidato penerimaan jabatannya sebagai berikut.
            “sesungguhnya Allah telah menurunkan kitab suci Al-Qur’an sebagai petunjuk yang menerangkan yang baik dan yang buruk maka hendaklah kamu ambil yang baik dan tinggalkan yang buruk, kewajiban-kewajiban yang kamu tunaikan kepada Allah akan membawa kamu ke surga. Sesungguhnya Allah telah mengharamkan apa yang haram, dan meuliakan kehormatan seorang muslim, berarti memuliakan keikhlasan dan tauhid oran-orang muslim. Hendaklah setiap muslim menyelamatkan manusia dengan kebenaran lisan dan tangannya. Tidak boleh menyakiti seorang muslim, kecuali ada yang membolehkannya. Segeralah kamu melaksanakan urusan kepentingan umum. Sesungguhnya (urusan) manusia menanti didepan kamu dan orang yang di belakang kamu. Bertakwalah kepada Allah sebagian hamba Allah kepada hamba-hambannya dan negeri-nya.
  
“sesungguhnya kamu bertanggung jawab (dalam segala urusan) termasuk urusan tanah dan binatang (lingkungan). Dan taatlah kepada Allah dan jangan kamu mendurhakainya. Apabila kamu melihat yang baik, ambilah dan jika kamu melihat yang buruk, tinggalkanlah. Dan ingatlah ketika kamu berjumlah sedikit lagi tertindas di muka bumi. “wahai manusia , kamu telah membai’at saya yang sebagaimana yang telah kamu lakukan terhadap khalifah-khalifah yang dulu dari pada saya. Saya hanya boleh menolak sebelum jatuh pilihan. Akan tetapi, jika pilihan telah jatuh, penolakan tidak boleh lagi. Imam harus kuat, teguh, dan rakyat harus tunduk dan patuh. Bai’at terhadap diri saya ini adalah bai’at yang mereka dan umum. Barang siap[a ya g mungkir darinya, terpisahlahlah dia dari agama islam.”

B.     Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib
                Ali adalah putra Abi Thalib Bin Abdul Muthalib. Ia adalah sepupu Nabi Muhammad SAW. Yang kemudian menjadi menantunya karena menikahi putri nabi Muhammad SAW, fatimah. Ia telah ikut bersama Rasullah SAW. Sejak bahaya kelaparan mengancam kota mekkah dan tinggal dirumahnya.[2]
Ia masuk nislam ketika usianya  sangat muda dan termasuk orang yang pertama masuk islam dari golongan islam. Pada saat nabi menerima wahyu pertama, Ali berumur 13 tahun, menurut A.M Saban, sedangkan menurut Mahmudunnasir, Ali berumur 9 tahun.
  
           Mahmudannasir selanjutnya menulis bahwa ali termasuk salah seorang yang baik dalam memainkan pedang dan pena, bahkan ia dikenal sebagai orang oterator. Ia seorang yang pandai dan bijaksana. Sehingga menjadi penasehat pada zaman khalifah Abu Bakar. Ia mengikuti hampir semua peperangan, pada zamman nabi Muhammad SAW. Ia tidak sempat membai’at Abu Bakar, karena sibuk mengurus jenazah Rasullah SAW. Dan keturunan, Nabi Muhammad SAW. Kelanjutan dari beliau.
            Menurut Ali Mufrodi, setelah wafatnya Utsman bin Affan. Banyak sahabat yang mengunjungi wilayah-wilayah yang baru di tahlukan, yang daiantaranya Thalhah bin Ubaifillah dan zubair bin Awwan. Peristiwa terbunuhnya Utsman bin Affan, menyebabkan perpecahan dikalangan umat islam menjadi empat golongan,
yakni:[3]
1.      Pengikut Utsman, yaitu yang menuntut balas atas kematian Utsman dan mengajukan muawiyah sebagai khalifah.
2.      Pengikut Ali, yang mengajukan Ali sebagai khalifah.
3.      Kaum moderat, tidak mengajukan calon, menyerahkan urusan kepada Allah.
4.      Golongan yang memegang pada prinsip jamaah, diantaranya Saad bin Abi Waqqash, Abu Ayyub Al-Anshari, Usamas bin Zaid. Dan Muammad bin Maslamah yang diikuti oleh 10.000 orang sahabat dan tabi’in yang memandang bahwa utsman dan Ali sebagai  pemimpin.

      Ali adalah calon kuat untuk menjadi khalifah, kerena banyak didukung oleh sahabat senior. Bahkan kepada pemberontak khalifah Utsman mendukungnya termasuk Abdulah bin Saba. Dan tidak ada seorangpun yang bersedia dicalonkan.

Sa’ad bin Abi Waqqash dan Abdullah bin Umar tidak mendukungnya,  walaupun kemudian sa’ad ikut kembali Ali. Yang pertama kali membai’at Ali adalah Thalhah bin Ubaidah diikuti oleh Zubair bin Awwam dan sa’ad bin Abi Waqqash. Kemudian diikuti oleh banyak orang dari kalangan Anshar dan Muhajirin. Asal mulanya, Ali menolak pencalonan dirinya, namun kemudin menerimanya demi kepentingan islam pada tanggal 23 juni 656 M. Alasan penolakan Ali karena ia selalu berpandangan bahw, “ada orang yang lebih baik dari padanya”.

            Yang pertama dilakukan khalifah Ali adalah menarik kembali semua tanah yang telah dibagikan khalifah Utsman kepada kaum kerabatnya kepada kepemilikan negara dan mengganti semua gubernur yang tidak disenangi rakyat, diantaranya Ibnu Amir penguasa  Bashrah diganti  Utsman bin Hanif, gubernur mesir yang dijabat oleh Abdullah diganti oleh Qays, gubernur suriah, muawiyah juga diminta untuk meletakan jabatan, tetapi menolak, bahkan ia tidak mengakui kekhalifahan Ali.

            Pemerintahan khalifah Ali dapat dikatakan sebagai pemerintahan yang tidak stabil karena adanya pemberotakan dari sekelompokkaum muslimin ssendiri. Pemberontakan pertama datang dari Thalhah dan Zubair diikuti oleh siti Aisyah yang kemudian terjadi perang jamal.
Dikatakan demikian, karena Siti Aisyah pada waktu itu menggunakan unta dalam perang melawan Ali.

            Pemberontakan yan kedua datang dari muawiyah. Yang menolak meletakan jabatan. Bahkan menempatkan dirinya setingkat dengan khalifah walaupun ia hanya sebagai gubernur suriah. Yang berakhir dengan peran shifin.
            Pemberontakan pertama diawali oleh penarikan bai’at oleh Thalhaah dan Zubair, karena alasan bahwa khalifah Ali tidak memenuhi tuntunan mereka untuk menghukum pembunuh khalifah Utsman. Bahwa penolakan khalifah ini disampaikan kepada Siti Aisyah yang merupakan kerabatnya di perjalanan pulang dari mekah, yang tidak tahu mengenai kematian khalifah Utsman, sementara Thalhah dan Zubair dalm perjalanan menuju Bashrah. Siti Aisyah bergabung dengan Thalhah dan Zubair untuk menentang khalifah Ali, karena alasan pribadi, atau karena hasutan Abdullah bin Zubair. Muawiyah turut adil pula dalam pemberontakan ini, tetapi hanya terbatas pada usaha untuk menurunkan kredibilitas khalifah dimata umat islam, dengan cara menuduh bahwa jangan-jangan khalifah berada dibalik pembunuhan khalifah  Utsman.[4]
            Khalifah Ali telah berusaha untuk menghindari pertumpahan darah dengan mengajukan kompromi, tetapi beliau tidak berhasil sampai akhirnya terjadi pertempuran antara khalifah Ali bersama pasukannya bersama Thalhah, Zubair, dan Aisyah bersama pasukannya. Perang ini terjadi pada tahun 36 H. Talhah dan Zubair terbunuh ketika hendak melarikan diri dan Aisyah di kembalikan ke madinah. Dan puluhan ribu islam gugur pada peperangan ini.

            Setelah khalifah menyelesaikan pemberontakan Thalhah dan Zubair, pusat kekuasaan islam dipindahkan ke Kufah., sehingga madinah tidak lagi menjadi ibu kota kedaulatan islam dan tidak ada seorang khalifahpun setelahnya yang menjadikan madinah sebagai pusat kekuasaan islam.
            Peperangan antara umat islam terjadi lagi, yaitu antara khalifah Ali bersama pasukannya. Perang ini terjadinya karena khalifah Ali ingin menyelesaikan pemberontakan muawiyah yang menolak peletakan jabatan dan secara terbuka menentang khalifah dan tidak mengakuinya. Peperangan ini terjadi di kota Shiffin pada tahun 37 yang hampir saja dimenangkan oleh khalifah Ali. Namun, atas kecerdikan muawiyah yang dimotori oleh panglima peraangnya Amr bin Ash, yang menacungkan Al-Qur’an dengan tombaknya, yang mempunyai arti bahwa mereka mengajak berdamai dengan menggunakan Al-Qur’an. Khalifah Ali mengetahui bahwa hal tersebut adapun tipu muslihat, namun karena didesak oleh pasukannya. Khalifah menerima tawaran tersebut.
            Akhirnya, terjadi perstiwa tahkim yang secara politis khalifah Ali mengalami kekalahan, karena Abu Musa Al-Asy’ari sebagai wali khalifah menurunkan Ali sebagai khalifah, sementara Amr bin Ash tidak menurunkan muawiyah sebagai gubernur muawiyah  sebagai gubernur suriah, bahwa menjadikan kedudukannya setingkat khalifah.

C.    Peritiwa Tahkim pada masa
            Konflik politik antara Ali Ibn Abi Thalib dengan muawiyah Ibn Abi Sufyan diakhiri dengan tahkim. Dari pihak Ali Ibn Abi Thalib diutus seorang ulama yang terkenal sangat jujur dan “cerdik” dalam politik, yaitu Abu Musa Al-Asy’ari. Sebaliknya, dari muawiyah Ibn Abi Sufyan diutus seorang yang dikenal sangat “cerdik” dalam berpolitik, yaitu Amr bin Ash.
            Dalam tahkim tersebut, pihak Ali Ibn Thalib dirugikan oleh pihak muawiyahIbn Abu Sufyan karena kecerdikan Amr Ibn Ash yang dapat mmengalahkan Abu Musa Al-Asy’ari. Pendukung Ali Ibn Abi Thalib, kemudian terpecah menjadi dua. Yaitu kelompok pertama adalah mereka secara terpaksa mengahadapi hasil tahkim dan mereka tetap setia kepada Ali Ibn Abi Thalib, sedangkan kelompok yang kedua adalah kelompok yang menolak hasil tahkim dan bahwa terhadap kepemimpinan Ali Ibn Abi Thalib. Mereka menyatakan diri keluar dari pendukung Ali Ibn Abi Thalib yang kemudian melakukan gerakan perlawanan terhadap semua pihak  yang terlibat dalam tahkim, termasuk Ali Ibn Abi Thalib.[5]
            Peristiwa tahkim tersebut menyebabkan sebagian pengikut Ali tidak setuju, dan mereka keluar dari barisan Ali, kemudian mereka menjadikan nahrawan sebagai markasnya serta terus-menerus meronrong pemerintahan Ali . golongan yang keluar dari barisan Ali tersebut disebut khawarij. Kerepotan khalifah dalam meyelelesaikan kaum khawarij ini digunakan muawiyah untuk merebut mesir. Padahal, mesir dapat dikatakan sebagai sumber kemakmuran dan ekonomi dari pihak Ali.

            Dengan terjadinya berbagai pemberontak dan keluarnya sebagian  pendukung Ali, banyak pengikut Ali yang gugur  dan juga berkurang serta hilangnya sumberekonomi dari mesir karena dikuasai oleh muawiyah menjadikan kharisma khalifah menjadi menurun, sementara muawiyah makin hari makin bertambah kekuatannya. Hal tersebut memaksa khalifah Ali menyetujui perdamaian dari muawiyah.[6]
            `penyelesaian melalui kompromi dengan muawiyah itu sebenarnya merupakan kegagalan bagi Ali, berbagai kerusuhan yang haruss dihadapi Ali sejak penobatannya menjadi khalifah, terutama disebabkan oleh kegagalannya menindas pemberontakan muawiyah. Pemberontakan yang hebat dari thalhah dan Zubair mempertambah kedudukan Ali dan memperkuat kekuasaan muawiyah. Pemberontakan-pemberontakan terjadi pula di Bashrah, Mesir, dan persia untuk mendapat kemerdekaan. Khalifah Ali harus menangani pemberontakan-pemberontakan ini dan memulihkan ketertiban didalam imperium, terutama kaum khawarij sangat memperlemah kekuatannya dan terus-menerus meyibukannya.
            Jumlah manusia, keuangan, dan sumber-sumber kekayaan muawiyah jauh lebih kuat dibandingkan khalifah Ali. Ali tidak memiliki sumber-sumber kekayaan yang memadai dan memimpin suatu kekayaan yang kesetiannya kepadanya berubah-ubah dan meragukan. Sebaliknya, muawiyah memiliki sumber-sumber yang kaya dan siria dan memiliki dukungan yang tangguh dari keluarganya.

            Bani Umayyah maupun orang-orang siria dengan kuat  berada dibelakangnya dan memasoknya dengan sumber-sumber kekuatan yang tak habi-habinya.
Ali hanya seorang jenderal dan seorang prajurit yang gagah berani, sedangkan muawiyah adalah seorang diplomat yang licik dan seorang politikus yang pintar. Dia memainkan kelicikan apabila keberanian bertarung tidak berhasil. Dengan cerdik, ia memanfaatkan  pembunuhan khalifah Utsman untuk menjatuhkan nama dan memperlemah khalifah Ali dan mebantu rencananya. Karena dia sendiri adalah orang yang paling licik pada waktu itu . muawiyah menjalin persahabatan dan persekutuan dengan Amar, yang juga orang yang paling cerdik dan banyak akal pada saat itu. Karena gagal dalam menggunakan perang, muawiyah dan sekutunya menipu dan mengalahkan khalfah Ali denagn permainan kecerdikan dan kelicikan di perang   siffin.[7]

            Penyelesaian kompromis Ali dengan muawiyah tidak disukai oleh kaum perusuh kerena hal itu membebasakan khalifah untuk memusatkan perhatiannya pada tugas menghukum mereka.
Kaum khawarij merencanakan untuk membunuh Ali, muawiyah dan Amar memilih khalfah yang sehaluan dengan mereka, yang denagn bebasa dipilih dari seluruh umat islam. Karena itu, Abdurrahman pengikut serta kaum khawarij.

Memberiakan pukulan yang hebat kepada Ali sewaktu dia akan adzan di mesjid. Pukulan itu fatal, dan khalifah wafat pada tanggal 17 Ramadhan 40 H, bertetapan dengan tahun 661 M.[8]
            Dalam kisah lai diceritakan bahwa kematian khalifah itu diakibatkan oleh pukulan pedang beracun Abdurrahman Ibn Muljam. Sebagaimana di jelaskan Philip K.Hitty bahwa:

            “pada 24 januari 661, ketika Ali sedang dalam perjalanan menuju mesjid kuffah, ia terkena hantaman pedang beracun didahinya. Pedang ya ng mengenai otaknya tersebut diayunkan oleh seorang pengikut kelompok khawarij, Abd Ar-Rahman Ibn Muljam, yang ingin membalas dendam atas kematiankeluaraga seorang wanita, temannya yang terbunuh di nahrawan, tempat terpencil di dekat kufah yang  menjadi makam Ali, kini Masyhad Ali di Najaf, berkembang menjadi salah satu pusat ziarah terbesar dalam agama islam.”


 [1] Ath-Thabari, hlm. 448-447
 [2] Syuyuthi Pulungan
 [3] Syid Mahmudannasir. Hlm. 139-141
 [4] Drs. Fadn Sj. hlm 131-133
 [5] M.Ali As-Sayis. Hlm. 95-99
 [6] Syed Mahmudunnasir. Hlm. 184
 [7] M. Ali As-Sayis. Hlm. 95-99
 [8] Ibid

No comments:

Post a Comment