A.
Proses
Pengangkatan Ali Bin Abi Thalib
Pengukuhan ali menjadi
khalifah tidak semulus pengukuhan tiga
orang khalifah sebelumnya. Ali di bai’at di tengah-tengah suasana bergabung
atas meninggalkan utsman, pertentangan dan kekacauan. Serta kebingungan umat
islam madinah. Sebab, kaum pemberontak yang membunuh utsman mendaulat Ali
supaya bersedia dibai’at menjadi khalifah. Setelah utsman membunuh, kum
pemberontak mendatangi para sahabat senior satu persatu yang ada di kota
madinah, seperti Ali bin abi Thalib, Thathah, Zubair, Saad Bin Abi Waqqash, dan
Abdullah bin Umar bin menjadi khalifah.
Ia didatangi beeberapa kali oleh
kelompok-kelompok terebut agar bersedia di bai’at menjadi khalifah. Namun, Ali
menolak. Sebab, ia meghendaki agar urusan itu diselesaikan melalui musyarawah
dan mendapat persetujuan dari sahabat-sahabat senior terkemuka. Akan tetapi,
setelah masa rakyat mengemukakan bahwa umat islam segera perlu mempunyai
pemimpin agar tidak terjadi kekacauan yang lebih besar, akhirnya Ali bersedia
di bai’at menjadi khalifah.[1]
Dibai’at oleh mayoritas rakyat dari
muhajirin dan anshar serta para tokoh sahabat, seperti Thalah dan Zubair,
tetapi ada beberapa orang sahabat senior, seperti Abdullah bin Ummar bin
Khattab, Muhammad bin Maslamah, Saad bin Abi Waqqas, Hassan bin Tsabit, dan
Abdullah bin Salam yangb waktu itu berada di madinah, tidak mau ikut memba’it Ali.
Saad misalnya bersedia berbai’at
kalu seluruh rakyat adalah sudah berkumpul Mengenai Thalah Zubair diriwayatkan,
mereka bersedia berbai’at tetapi terpaksa. Riwayat lain menyatakan mereka
bersedia membai’at kalu nanti mereka diangkat menjadi gubernur di kufah dan
basrah.
Akan tetapi, riwayat
lain menyatakan bahwa Thalhah dan Zubair bersama kaum Anshar dan muhajirinlah
yang meminta kepada Ali agar bersedia di bai’at menjadi khalifah. Mereka
menyatakan bahwa mereka tidak punya pilihan lain, kecuali memilih Ali.
Dengan demikian, Ali tidak dibai’at
oleh kaum muslimin secara aklamasi karena banyak sahabat senior ketika itu
tidak berada di kota madinah, sehingga umat islam tidak hanya berada di tanah
Hijaz (mekah, madinah, dan Thaif), tetapi untuk membai’at Ali dan menunjukan
sikap konfrontatif adalah muawiyah bin Abi Sufyan, keluarga utsman dan gubernur
Syam, alasan yang dikemukakan karena menurutnya Ali bertanggung jawab atas terbunuhnya
utsman.
Setelah Ali bin Abi Thalib dibai’at
menjadi khalifah di mesjid Nabawi, ia menyampaikan pidato penerimaan jabatannya
sebagai berikut.
“sesungguhnya Allah telah menurunkan
kitab suci Al-Qur’an sebagai petunjuk yang menerangkan yang baik dan yang buruk
maka hendaklah kamu ambil yang baik dan tinggalkan yang buruk,
kewajiban-kewajiban yang kamu tunaikan kepada Allah akan membawa kamu ke surga.
Sesungguhnya Allah telah mengharamkan apa yang haram, dan meuliakan kehormatan
seorang muslim, berarti memuliakan keikhlasan dan tauhid oran-orang muslim.
Hendaklah setiap muslim menyelamatkan manusia dengan kebenaran lisan dan
tangannya. Tidak boleh menyakiti seorang muslim, kecuali ada yang
membolehkannya. Segeralah kamu melaksanakan urusan kepentingan umum.
Sesungguhnya (urusan) manusia menanti didepan kamu dan orang yang di belakang
kamu. Bertakwalah kepada Allah sebagian hamba Allah kepada hamba-hambannya dan
negeri-nya.
“sesungguhnya kamu
bertanggung jawab (dalam segala urusan) termasuk urusan tanah dan binatang
(lingkungan). Dan taatlah kepada Allah dan jangan kamu mendurhakainya. Apabila
kamu melihat yang baik, ambilah dan jika kamu melihat yang buruk,
tinggalkanlah. Dan ingatlah ketika kamu berjumlah sedikit lagi tertindas di muka
bumi. “wahai manusia , kamu telah membai’at saya yang sebagaimana yang telah
kamu lakukan terhadap khalifah-khalifah yang dulu dari pada saya. Saya hanya boleh
menolak sebelum jatuh pilihan. Akan tetapi, jika pilihan telah jatuh, penolakan
tidak boleh lagi. Imam harus kuat, teguh, dan rakyat harus tunduk dan patuh.
Bai’at terhadap diri saya ini adalah bai’at yang mereka dan umum. Barang siap[a
ya g mungkir darinya, terpisahlahlah dia dari agama islam.”
B.
Kekhalifahan
Ali bin Abi Thalib
Ali adalah putra Abi Thalib Bin
Abdul Muthalib. Ia adalah sepupu Nabi Muhammad SAW. Yang kemudian menjadi
menantunya karena menikahi putri nabi Muhammad SAW, fatimah. Ia telah ikut
bersama Rasullah SAW. Sejak bahaya kelaparan mengancam kota mekkah dan tinggal
dirumahnya.[2]
Ia masuk nislam
ketika usianya sangat muda dan termasuk
orang yang pertama masuk islam dari golongan islam. Pada saat nabi menerima
wahyu pertama, Ali berumur 13 tahun, menurut A.M Saban, sedangkan menurut
Mahmudunnasir, Ali berumur 9 tahun.
Mahmudannasir selanjutnya menulis
bahwa ali termasuk salah seorang yang baik dalam memainkan pedang dan pena,
bahkan ia dikenal sebagai orang oterator. Ia seorang yang pandai dan bijaksana.
Sehingga menjadi penasehat pada zaman khalifah Abu Bakar. Ia mengikuti hampir
semua peperangan, pada zamman nabi Muhammad SAW. Ia tidak sempat membai’at Abu
Bakar, karena sibuk mengurus jenazah Rasullah SAW. Dan keturunan, Nabi Muhammad
SAW. Kelanjutan dari beliau.
Menurut Ali Mufrodi, setelah
wafatnya Utsman bin Affan. Banyak sahabat yang mengunjungi wilayah-wilayah yang
baru di tahlukan, yang daiantaranya Thalhah bin Ubaifillah dan zubair bin
Awwan. Peristiwa terbunuhnya Utsman bin Affan, menyebabkan perpecahan
dikalangan umat islam menjadi empat golongan,
yakni:[3]
1. Pengikut Utsman, yaitu
yang menuntut balas atas kematian Utsman dan mengajukan muawiyah sebagai
khalifah.
2. Pengikut Ali, yang
mengajukan Ali sebagai khalifah.
3. Kaum moderat, tidak
mengajukan calon, menyerahkan urusan kepada Allah.
4. Golongan yang memegang
pada prinsip jamaah, diantaranya Saad bin Abi Waqqash, Abu Ayyub Al-Anshari,
Usamas bin Zaid. Dan Muammad bin Maslamah yang diikuti oleh 10.000 orang
sahabat dan tabi’in yang memandang bahwa utsman dan Ali sebagai pemimpin.
Ali adalah calon kuat untuk menjadi khalifah, kerena
banyak didukung oleh sahabat senior. Bahkan kepada pemberontak khalifah Utsman
mendukungnya termasuk Abdulah bin Saba. Dan tidak ada seorangpun yang bersedia
dicalonkan.
Sa’ad bin Abi
Waqqash dan Abdullah bin Umar tidak mendukungnya, walaupun kemudian sa’ad ikut kembali Ali.
Yang pertama kali membai’at Ali adalah Thalhah bin Ubaidah diikuti oleh Zubair
bin Awwam dan sa’ad bin Abi Waqqash. Kemudian diikuti oleh banyak orang dari
kalangan Anshar dan Muhajirin. Asal mulanya, Ali menolak pencalonan dirinya,
namun kemudin menerimanya demi kepentingan islam pada tanggal 23 juni 656 M.
Alasan penolakan Ali karena ia selalu berpandangan bahw, “ada orang yang lebih
baik dari padanya”.
Yang pertama dilakukan khalifah Ali
adalah menarik kembali semua tanah yang telah dibagikan khalifah Utsman kepada
kaum kerabatnya kepada kepemilikan negara dan mengganti semua gubernur yang
tidak disenangi rakyat, diantaranya Ibnu Amir penguasa Bashrah diganti Utsman bin Hanif, gubernur mesir yang dijabat
oleh Abdullah diganti oleh Qays, gubernur suriah, muawiyah juga diminta untuk
meletakan jabatan, tetapi menolak, bahkan ia tidak mengakui kekhalifahan Ali.
Pemerintahan khalifah Ali dapat
dikatakan sebagai pemerintahan yang tidak stabil karena adanya pemberotakan
dari sekelompokkaum muslimin ssendiri. Pemberontakan pertama datang dari
Thalhah dan Zubair diikuti oleh siti Aisyah yang kemudian terjadi perang jamal.
Dikatakan demikian,
karena Siti Aisyah pada waktu itu menggunakan unta dalam perang melawan Ali.
Pemberontakan yan kedua datang dari
muawiyah. Yang menolak meletakan jabatan. Bahkan menempatkan dirinya setingkat
dengan khalifah walaupun ia hanya sebagai gubernur suriah. Yang berakhir dengan
peran shifin.
Pemberontakan pertama diawali oleh
penarikan bai’at oleh Thalhaah dan Zubair, karena alasan bahwa khalifah Ali
tidak memenuhi tuntunan mereka untuk menghukum pembunuh khalifah Utsman. Bahwa
penolakan khalifah ini disampaikan kepada Siti Aisyah yang merupakan kerabatnya
di perjalanan pulang dari mekah, yang tidak tahu mengenai kematian khalifah
Utsman, sementara Thalhah dan Zubair dalm perjalanan menuju Bashrah. Siti
Aisyah bergabung dengan Thalhah dan Zubair untuk menentang khalifah Ali, karena
alasan pribadi, atau karena hasutan Abdullah bin Zubair. Muawiyah turut adil
pula dalam pemberontakan ini, tetapi hanya terbatas pada usaha untuk menurunkan
kredibilitas khalifah dimata umat islam, dengan cara menuduh bahwa
jangan-jangan khalifah berada dibalik pembunuhan khalifah Utsman.[4]
Khalifah Ali telah berusaha untuk
menghindari pertumpahan darah dengan mengajukan kompromi, tetapi beliau tidak
berhasil sampai akhirnya terjadi pertempuran antara khalifah Ali bersama pasukannya
bersama Thalhah, Zubair, dan Aisyah bersama pasukannya. Perang ini terjadi pada
tahun 36 H. Talhah dan Zubair terbunuh ketika hendak melarikan diri dan Aisyah
di kembalikan ke madinah. Dan puluhan ribu islam gugur pada peperangan ini.
Setelah khalifah menyelesaikan
pemberontakan Thalhah dan Zubair, pusat kekuasaan islam dipindahkan ke Kufah.,
sehingga madinah tidak lagi menjadi ibu kota kedaulatan islam dan tidak ada
seorang khalifahpun setelahnya yang menjadikan madinah sebagai pusat kekuasaan
islam.
Peperangan antara umat islam terjadi
lagi, yaitu antara khalifah Ali bersama pasukannya. Perang ini terjadinya
karena khalifah Ali ingin menyelesaikan pemberontakan muawiyah yang menolak
peletakan jabatan dan secara terbuka menentang khalifah dan tidak mengakuinya.
Peperangan ini terjadi di kota Shiffin pada tahun 37 yang hampir saja
dimenangkan oleh khalifah Ali. Namun, atas kecerdikan muawiyah yang dimotori
oleh panglima peraangnya Amr bin Ash, yang menacungkan Al-Qur’an dengan
tombaknya, yang mempunyai arti bahwa mereka mengajak berdamai dengan
menggunakan Al-Qur’an. Khalifah Ali mengetahui bahwa hal tersebut adapun tipu
muslihat, namun karena didesak oleh pasukannya. Khalifah menerima tawaran
tersebut.
Akhirnya, terjadi perstiwa tahkim yang
secara politis khalifah Ali mengalami kekalahan, karena Abu Musa Al-Asy’ari
sebagai wali khalifah menurunkan Ali sebagai khalifah, sementara Amr bin Ash
tidak menurunkan muawiyah sebagai gubernur muawiyah sebagai gubernur suriah, bahwa menjadikan
kedudukannya setingkat khalifah.
C.
Peritiwa
Tahkim pada masa
Konflik politik antara Ali Ibn Abi
Thalib dengan muawiyah Ibn Abi Sufyan diakhiri dengan tahkim. Dari pihak Ali
Ibn Abi Thalib diutus seorang ulama yang terkenal sangat jujur dan “cerdik”
dalam politik, yaitu Abu Musa Al-Asy’ari. Sebaliknya, dari muawiyah Ibn Abi
Sufyan diutus seorang yang dikenal sangat “cerdik” dalam berpolitik, yaitu Amr
bin Ash.
Dalam tahkim tersebut, pihak Ali Ibn
Thalib dirugikan oleh pihak muawiyahIbn Abu Sufyan karena kecerdikan Amr Ibn
Ash yang dapat mmengalahkan Abu Musa Al-Asy’ari. Pendukung Ali Ibn Abi Thalib,
kemudian terpecah menjadi dua. Yaitu kelompok pertama adalah mereka secara
terpaksa mengahadapi hasil tahkim dan mereka tetap setia kepada Ali Ibn Abi
Thalib, sedangkan kelompok yang kedua adalah kelompok yang menolak hasil tahkim
dan bahwa terhadap kepemimpinan Ali Ibn Abi Thalib. Mereka menyatakan diri
keluar dari pendukung Ali Ibn Abi Thalib yang kemudian melakukan gerakan
perlawanan terhadap semua pihak yang
terlibat dalam tahkim, termasuk Ali Ibn Abi Thalib.[5]
Peristiwa tahkim tersebut
menyebabkan sebagian pengikut Ali tidak setuju, dan mereka keluar dari barisan
Ali, kemudian mereka menjadikan nahrawan sebagai markasnya serta terus-menerus
meronrong pemerintahan Ali . golongan yang keluar dari barisan Ali tersebut
disebut khawarij. Kerepotan khalifah dalam meyelelesaikan kaum khawarij ini
digunakan muawiyah untuk merebut mesir. Padahal, mesir dapat dikatakan sebagai
sumber kemakmuran dan ekonomi dari pihak Ali.
Dengan terjadinya berbagai pemberontak
dan keluarnya sebagian pendukung Ali,
banyak pengikut Ali yang gugur dan juga
berkurang serta hilangnya sumberekonomi dari mesir karena dikuasai oleh
muawiyah menjadikan kharisma khalifah menjadi menurun, sementara muawiyah makin
hari makin bertambah kekuatannya. Hal tersebut memaksa khalifah Ali menyetujui
perdamaian dari muawiyah.[6]
`penyelesaian melalui kompromi
dengan muawiyah itu sebenarnya merupakan kegagalan bagi Ali, berbagai kerusuhan
yang haruss dihadapi Ali sejak penobatannya menjadi khalifah, terutama
disebabkan oleh kegagalannya menindas pemberontakan muawiyah. Pemberontakan
yang hebat dari thalhah dan Zubair mempertambah kedudukan Ali dan memperkuat
kekuasaan muawiyah. Pemberontakan-pemberontakan terjadi pula di Bashrah, Mesir,
dan persia untuk mendapat kemerdekaan. Khalifah Ali harus menangani
pemberontakan-pemberontakan ini dan memulihkan ketertiban didalam imperium,
terutama kaum khawarij sangat memperlemah kekuatannya dan terus-menerus
meyibukannya.
Jumlah manusia, keuangan, dan
sumber-sumber kekayaan muawiyah jauh lebih kuat dibandingkan khalifah Ali. Ali
tidak memiliki sumber-sumber kekayaan yang memadai dan memimpin suatu kekayaan
yang kesetiannya kepadanya berubah-ubah dan meragukan. Sebaliknya, muawiyah
memiliki sumber-sumber yang kaya dan siria dan memiliki dukungan yang tangguh
dari keluarganya.
Bani Umayyah maupun orang-orang
siria dengan kuat berada dibelakangnya
dan memasoknya dengan sumber-sumber kekuatan yang tak habi-habinya.
Ali hanya seorang
jenderal dan seorang prajurit yang gagah berani, sedangkan muawiyah adalah
seorang diplomat yang licik dan seorang politikus yang pintar. Dia memainkan
kelicikan apabila keberanian bertarung tidak berhasil. Dengan cerdik, ia
memanfaatkan pembunuhan khalifah Utsman
untuk menjatuhkan nama dan memperlemah khalifah Ali dan mebantu rencananya.
Karena dia sendiri adalah orang yang paling licik pada waktu itu . muawiyah
menjalin persahabatan dan persekutuan dengan Amar, yang juga orang yang paling
cerdik dan banyak akal pada saat itu. Karena gagal dalam menggunakan perang,
muawiyah dan sekutunya menipu dan mengalahkan khalfah Ali denagn permainan
kecerdikan dan kelicikan di perang
siffin.[7]
Penyelesaian kompromis Ali dengan
muawiyah tidak disukai oleh kaum perusuh kerena hal itu membebasakan khalifah
untuk memusatkan perhatiannya pada tugas menghukum mereka.
Kaum khawarij
merencanakan untuk membunuh Ali, muawiyah dan Amar memilih khalfah yang
sehaluan dengan mereka, yang denagn bebasa dipilih dari seluruh umat islam.
Karena itu, Abdurrahman pengikut serta kaum khawarij.
Memberiakan pukulan
yang hebat kepada Ali sewaktu dia akan adzan di mesjid. Pukulan itu fatal, dan
khalifah wafat pada tanggal 17 Ramadhan 40 H, bertetapan dengan tahun 661 M.[8]
Dalam kisah lai diceritakan bahwa
kematian khalifah itu diakibatkan oleh pukulan pedang beracun Abdurrahman Ibn
Muljam. Sebagaimana di jelaskan Philip K.Hitty bahwa:
“pada
24 januari 661, ketika Ali sedang dalam perjalanan menuju mesjid kuffah, ia
terkena hantaman pedang beracun didahinya. Pedang ya ng mengenai otaknya
tersebut diayunkan oleh seorang pengikut kelompok khawarij, Abd Ar-Rahman Ibn
Muljam, yang ingin membalas dendam atas kematiankeluaraga seorang wanita,
temannya yang terbunuh di nahrawan, tempat terpencil di dekat kufah yang menjadi makam Ali, kini Masyhad Ali di Najaf,
berkembang menjadi salah satu pusat ziarah terbesar dalam agama islam.”
No comments:
Post a Comment