PROSES
TERPILIHNYA UMAR IBN KHATTHAB SEBAGAI KHALIFAH
Berbeda dengan proses pengangkatan
Abu Bakar sebagai khalifah. Abu Bakar terpilih secara demokratis melalui proses
perdebatan yang cukup panjang, hingga akhirnya ia terpilih sebagai khalifah
yang sah. Sementara Umar Bin Khatthab diangkat melalui penunjukan yang
dilakukan khalifah Abu Bakar setelah mendapatkan persetujuan dari para sahabat
besar. Hal itu dilakukan khalifah guna menghindari pertikaian politik antara
umat Islam sendiri. Beliau khawatir kalau pengangkatan itu dilakukan melalui
proses pemilihan seperti pada masanya, maka situasinya akan menjadi keruh
karena kemungkinan terdapat banyak kepentingan yang ada diantara mereka yang
membuat negara menjadi tidak stabil, sehingga pelaksanaan pembangunan dan
pengembangan Islam akan terhambat.[1]
Dan beberapa hari sebelum Abu Bakar wafat, balatentara Islam sedang bertempur dalam peperangan yang paling sengit yang pernah dikenal dalam sejarah masa itu. Kita katakan paling sengit karena peperangan itu ialah antara kaum Muslimin di satu pihak, melawan tentara Persia dan Romawi di lain pihak.
Pada saat itu Abu Bakar sudah terpikir, bahwa yang akan timbul perselisihan di kalangan kaum Muslimin, kalau mereka ditinggalkan demikian saja, tiada dengan khalifah yang akan menggantikannya. Sekiranya suatu kegoncangan terjadi pula di ibu kota, tak dapat tidak akan menimbulkan kekalahan bagi balatentara yang sedang bertempur itu. Bahkan tidak mustahil pula bahwa kegoncangan di pusat pemertintahan akan mengakibatkan perpecahan dalam laskar Islam sendiri. Ada panglima yang akan mendukung seorang calon khalifah, sedang panglima yang lain mendukung calon yang lain. dengan demikian balatentara Islam sedang berperang dengan bangsa Persia dan Romawi akan pecah dua yang masing-masing akan memerangi saudaranya sendiri. Kalau yang demikian terjadi, balatentara Islam itu akan dapat dikalahkan dan dihancurkan oleh bangsa Persia dan Romawi.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang di sebutkan, inginlah Abu Bakar hendak menunjuk penggantinya, sesudah memusyawarahkan hal itu dengan kaum muslimin. Dalam musyawarah itu dinyatakan bahwa dia akan menunjuk penggantinya siapa yang mereka sukai.
Abu Bakar mengemukakan Umar ibnul Khatthab sebagai calon. Dan beliau pulalah calon yang dikemukakan oleh kaum Muslimin. Tak ada orang yang akan menempati kedudukan ini, selain Umar.[2]
Abu Bakar jatuh sakit dalam musim panas tahun 634 M, dan selama 15 hari dia berbaring ditemapat tidur. Khalifah ingin sekali menyelsaikan masalah peggantian dan mencalonkan seorang pengganti, kalau-kalau hal itu akan melibatkan rakyatnya ke dalam suatu perang saudara. Meskipun dari pengalamannya Abu Bakar benar-benar yakin bahwa tidak ada seorang pun kecuali Umar bin khatthab yang dapat mengambil tanggungjawab kekhalifahan yang berat itu, karena masih ingin mengambil pendapat umum, dia bermusyawarah dengan para sahabat yang terpandang. Thabari menulis bahwa Abu Bakar naik ke atas balkon umahnya dan berbicara kepada orang banyak yang berkerumunan di bawah : ”apakah kalian akan menerima orang yang saya calonkan sebagai pengganti saya?” kata khalifah. “saya bersumpah bahwa saya melakukan yang terbaik dalam menentukan hal ini, dan saya telah memilih Umar bin Khathab sebagi pengganti saya. Dengarkanlah saya, dan ikutilah keinginan-keinginan saya.” Mereka semua berkata serempak “kami telah mendengar Anda dan kami akan menaati Anda.”
Kemudian dia memanggil Usman dan mendiktikan teks perintah yang menunjuk Umar sebagai penggantinya.[3]
Cerita lain dikemukakan sebagai berikut :
Sewaktu masih terbaring sakit, menjelang beliau wafat, Khalifah Abu Bakar secara diam-diam melakukan tinjau pendapat terhadapat tokoh-tokoh terkemuka dali kalangan Al Shahabi mengenai pribadi yang layak untuk menggantikannya kelak. Pilihannya jatuh kepada Umar ibn Khatthab akan tetapi ia ingin mendengarkan pendapat tokoh-tokoh lainnya.
Terlebih dahulu diundangnya Abrdurraman ibn ‘Auf dan berlangsung tinjau pendapat sebagai berikut :
“Bagaimana pendapat anda tetang Umar?”
“Dia itu, demi Allah, terlebih utama dari siapapun yang berada di dalam pemikiran anda. Cuma sikapnya keras.”
“Hal itu disebabkan dia menampakku terlalu lembut. Jikalau pimpinan diserahkan kepadanya niscaya sikapnya itu akan berubah. Coba perhatikan, hai Abu Muhammad, jikalau aku marah kepada seseorang maka dia membela orang itu. Sebaliknya jikalau aku bersikap lunak terhadap seseorang maka dia sengaja bersikap keras terhdap orang itu. Nah, saya minta rundingan kita ini antara kita berdua saja buat sementara.”
“Baiklah.”
Pada hari berikutnya diundangnya Utsman ibn Affan dan berlangsung tinjau pendapat sebagai berikut :
“ Bagaimana pendapat anda, hai Aba Abdillah, tentang Umar?”
“Anda lebih arif dalam hal itu”
“Benar, hai Aba Abdirrahman, tapi saya meminta pendapat anda.”
“Pengetahuanku tetang Umar ialah hatinya baik sekalipun sikapnya tampak keras. Tiada seorangpun serupa dia dalam lingkungan kita.”
“ Baiklah, saya minta rundingan kita ini antara kita berdua saja buat sementara.”
Berikutnya iapun mengundang Thulhah ibn Ubaidillah dan berlangsung tinjau pendapat dan tokoh ini menyatakan pendapatnya sebagai berikut :
“Anda menunjuknya pengganti anda. Anda menyaksikan apa yang diperbuatnya terhadap orang banyak, sedangkan anda masih hidup. Apalagi jikalau sudah terpegang pimpinan seorang diri, dan anda berngakat ke dalam haribaan Tuhan. Sebaliknya anda tanyakan pendapat orang banyak.”
Khalifah Abu Bakar saat itu tengah terbaring. Ia meminta didudukkan dan dibantu mendudukkannya oleh Thulhah, dan iapun berkata :
“Apakah anda mengkhawatirkan tanggungjawabku terhadap Allah? Jikalau ajalku sampai dan Allah bertanyakan tanggungjawabku maka aku akan berkata :”aku telah menunjuk penggantiku, bagi kepentingan hamba-Mu, seseorang yang terbaik dari hamba-Mu itu.”
Pada hari berikutnya, sesuai dengan anjuran Thulhah ibn Ubaidillah, iapun mengundang orangg banyak. Ia didudukkan oleh isterinya Asmak binti ‘Umais dan berada dalam pelukannya. Pembicaraan khalifah Abu Bakar singkat di antara lainnya berbunyi :
“Sudilah mengemukakan pendapat kamu semuanya mengenai orang yang akan aku tunjuk untuk penggantiku. Demi Allah, penunjukkan itu bukan tanpa memikirkannya sungguh-sungguh dan bukan pula aku menunjuk lingkungan keluargaku. Aku menunjuk penggantiku itu Umar ibn Khatthab. Sudilah menerimanya dan mematuhinya.”
Jawaban serentak ketika itu berbunyi ; “Sami’na wa Atha’na.” Yang bermakna :kami dengar dan kami patuhi.”
Abu Abdillah Muhammad Al-Waqidi (130-207H/747-822M), ahli sejarah terkenal itu, di dalam karyanya Al-Maghazi mencatat bahwa Khalifah Abu Bakar, setelah dibawa masuk kembali dan dibaringkan, mengundang Utsman ibn ‘Affan dan memintanya menuliskan Amanatnya berbunyi :”Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Inilah perjanjian yang diikat Abu Bakar ibn Abi Kahafah terhadap kaum Muslimin. Adapun kemudian ......”
Ia mendiktekannya berupa kata demi kata, akan tetapi sampai di situ, iapun tak sadrkan dirinya. Utsman melanjutkan bunyi amanat itu berbunyi :”adapun kemudian, aku menunjuk Umar ibn Khatthab untuk penggantiku, dan hal itu untuk kebaikan semuanya.”
Belakangan iapun sadar kembali, meminta dibacakan kalimat yang sudah di diktekannya, dan ternyata Utsman ibn ‘Affan membaca keseluruhannya. Khalifah Abu Bakar mendadak Takbir sehabis mendengarkan isi keseluruhan amanat itu dan berkata kepada Utsaman : “tampakku anda khawatir bahwa orang banyak akan berbeda pendapat kembali andaikan ajalku tiba pada saat tak sadar tadi.”
“Benar”
“Semoga Allah akan memberikan imbalannya terhadap anda atas niat baik anda terhadap agama Islam dan pemelukknya.”
Ia pun mengundang Umar ibn Khatthab, dan menyampaikan amanatnya, yang amat tercatat dalam sejarah, berbunyi :
“Hai Umar ibn Khatthab : Allah memikulkan tanggungjawab pada malam hari dan jangan tangguhkan kepada siang hari, Allah memikulkan tanggungjawab pada siang hari dan jangan tangguhkan kepada malam hari.”
“Allah akan menerima amal sunat sebelum amal fardhu dilaksanakan. Bukankah anda tahu, hai Umar, bahwa daun neraca seseorang itu akan berat pada Hari Kemudian disebabkan melaksanakan Kebenaran. Bukankah anda tahu, hai Umar, bahwa daun neraca seseorang itu akan ringan pada Hari Kemudian disebabkan membela Kepalsuan.”
“Bukankah anda saksikan, hai Umar, Bahwa ayat-ayat Sukaria itu senantiasa didampingi ayat-ayat Ancaman, dan ayat-ayat Ancaman itu senantiasa didampingi ayat-ayat Sukaria. Tujuannya suapaya manusia itu gembira disertai gentar. Bergembira dengan penuh harap akan tetapi bukan terhdap hal-hal yang tidak diridhoi oleh Allah, hingga akan tidak gentar menghadap Allah kelak.”
“Bukankah anda saksikan, hai Umar, bahwa Allah bercerita tentang penderitaan penduduk Neraka. Jika anda mengingatnya maka ucapkanlah di dalam diri : janganlah aku termasuk pihak itu.”
“Bukankah anda saksikan, hai Umar, bahwa Allah bercerita tentang kebahagiaan penduduk Sorga. Jikalau anda mengingatnya maka ucapkanlah di dalam diri : aku akan beramal seperti amal mereka itu.”
“Itulah amanatku kepada anda. Jikalau anda memperpegangi amanatku itu maka mudah-mudahan anda akan tidak lebih mencintai yang tak tampak daripada yang tampak.”[4]
Setelah Abu Bakar bermusyawarah dengan para pemuka sahabat, kemudian, mengangkat Umar sebagai penggantinya dengan maksud untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan dan perpecahan di kalangan Umat Islam. Kebijakan Abu Bakar tersebut ternyata diterima masyarakat yang segera secara beramai-ramai membaiat Umar.[5]
Dan beberapa hari sebelum Abu Bakar wafat, balatentara Islam sedang bertempur dalam peperangan yang paling sengit yang pernah dikenal dalam sejarah masa itu. Kita katakan paling sengit karena peperangan itu ialah antara kaum Muslimin di satu pihak, melawan tentara Persia dan Romawi di lain pihak.
Pada saat itu Abu Bakar sudah terpikir, bahwa yang akan timbul perselisihan di kalangan kaum Muslimin, kalau mereka ditinggalkan demikian saja, tiada dengan khalifah yang akan menggantikannya. Sekiranya suatu kegoncangan terjadi pula di ibu kota, tak dapat tidak akan menimbulkan kekalahan bagi balatentara yang sedang bertempur itu. Bahkan tidak mustahil pula bahwa kegoncangan di pusat pemertintahan akan mengakibatkan perpecahan dalam laskar Islam sendiri. Ada panglima yang akan mendukung seorang calon khalifah, sedang panglima yang lain mendukung calon yang lain. dengan demikian balatentara Islam sedang berperang dengan bangsa Persia dan Romawi akan pecah dua yang masing-masing akan memerangi saudaranya sendiri. Kalau yang demikian terjadi, balatentara Islam itu akan dapat dikalahkan dan dihancurkan oleh bangsa Persia dan Romawi.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang di sebutkan, inginlah Abu Bakar hendak menunjuk penggantinya, sesudah memusyawarahkan hal itu dengan kaum muslimin. Dalam musyawarah itu dinyatakan bahwa dia akan menunjuk penggantinya siapa yang mereka sukai.
Abu Bakar mengemukakan Umar ibnul Khatthab sebagai calon. Dan beliau pulalah calon yang dikemukakan oleh kaum Muslimin. Tak ada orang yang akan menempati kedudukan ini, selain Umar.[2]
Abu Bakar jatuh sakit dalam musim panas tahun 634 M, dan selama 15 hari dia berbaring ditemapat tidur. Khalifah ingin sekali menyelsaikan masalah peggantian dan mencalonkan seorang pengganti, kalau-kalau hal itu akan melibatkan rakyatnya ke dalam suatu perang saudara. Meskipun dari pengalamannya Abu Bakar benar-benar yakin bahwa tidak ada seorang pun kecuali Umar bin khatthab yang dapat mengambil tanggungjawab kekhalifahan yang berat itu, karena masih ingin mengambil pendapat umum, dia bermusyawarah dengan para sahabat yang terpandang. Thabari menulis bahwa Abu Bakar naik ke atas balkon umahnya dan berbicara kepada orang banyak yang berkerumunan di bawah : ”apakah kalian akan menerima orang yang saya calonkan sebagai pengganti saya?” kata khalifah. “saya bersumpah bahwa saya melakukan yang terbaik dalam menentukan hal ini, dan saya telah memilih Umar bin Khathab sebagi pengganti saya. Dengarkanlah saya, dan ikutilah keinginan-keinginan saya.” Mereka semua berkata serempak “kami telah mendengar Anda dan kami akan menaati Anda.”
Kemudian dia memanggil Usman dan mendiktikan teks perintah yang menunjuk Umar sebagai penggantinya.[3]
Cerita lain dikemukakan sebagai berikut :
Sewaktu masih terbaring sakit, menjelang beliau wafat, Khalifah Abu Bakar secara diam-diam melakukan tinjau pendapat terhadapat tokoh-tokoh terkemuka dali kalangan Al Shahabi mengenai pribadi yang layak untuk menggantikannya kelak. Pilihannya jatuh kepada Umar ibn Khatthab akan tetapi ia ingin mendengarkan pendapat tokoh-tokoh lainnya.
Terlebih dahulu diundangnya Abrdurraman ibn ‘Auf dan berlangsung tinjau pendapat sebagai berikut :
“Bagaimana pendapat anda tetang Umar?”
“Dia itu, demi Allah, terlebih utama dari siapapun yang berada di dalam pemikiran anda. Cuma sikapnya keras.”
“Hal itu disebabkan dia menampakku terlalu lembut. Jikalau pimpinan diserahkan kepadanya niscaya sikapnya itu akan berubah. Coba perhatikan, hai Abu Muhammad, jikalau aku marah kepada seseorang maka dia membela orang itu. Sebaliknya jikalau aku bersikap lunak terhadap seseorang maka dia sengaja bersikap keras terhdap orang itu. Nah, saya minta rundingan kita ini antara kita berdua saja buat sementara.”
“Baiklah.”
Pada hari berikutnya diundangnya Utsman ibn Affan dan berlangsung tinjau pendapat sebagai berikut :
“ Bagaimana pendapat anda, hai Aba Abdillah, tentang Umar?”
“Anda lebih arif dalam hal itu”
“Benar, hai Aba Abdirrahman, tapi saya meminta pendapat anda.”
“Pengetahuanku tetang Umar ialah hatinya baik sekalipun sikapnya tampak keras. Tiada seorangpun serupa dia dalam lingkungan kita.”
“ Baiklah, saya minta rundingan kita ini antara kita berdua saja buat sementara.”
Berikutnya iapun mengundang Thulhah ibn Ubaidillah dan berlangsung tinjau pendapat dan tokoh ini menyatakan pendapatnya sebagai berikut :
“Anda menunjuknya pengganti anda. Anda menyaksikan apa yang diperbuatnya terhadap orang banyak, sedangkan anda masih hidup. Apalagi jikalau sudah terpegang pimpinan seorang diri, dan anda berngakat ke dalam haribaan Tuhan. Sebaliknya anda tanyakan pendapat orang banyak.”
Khalifah Abu Bakar saat itu tengah terbaring. Ia meminta didudukkan dan dibantu mendudukkannya oleh Thulhah, dan iapun berkata :
“Apakah anda mengkhawatirkan tanggungjawabku terhadap Allah? Jikalau ajalku sampai dan Allah bertanyakan tanggungjawabku maka aku akan berkata :”aku telah menunjuk penggantiku, bagi kepentingan hamba-Mu, seseorang yang terbaik dari hamba-Mu itu.”
Pada hari berikutnya, sesuai dengan anjuran Thulhah ibn Ubaidillah, iapun mengundang orangg banyak. Ia didudukkan oleh isterinya Asmak binti ‘Umais dan berada dalam pelukannya. Pembicaraan khalifah Abu Bakar singkat di antara lainnya berbunyi :
“Sudilah mengemukakan pendapat kamu semuanya mengenai orang yang akan aku tunjuk untuk penggantiku. Demi Allah, penunjukkan itu bukan tanpa memikirkannya sungguh-sungguh dan bukan pula aku menunjuk lingkungan keluargaku. Aku menunjuk penggantiku itu Umar ibn Khatthab. Sudilah menerimanya dan mematuhinya.”
Jawaban serentak ketika itu berbunyi ; “Sami’na wa Atha’na.” Yang bermakna :kami dengar dan kami patuhi.”
Abu Abdillah Muhammad Al-Waqidi (130-207H/747-822M), ahli sejarah terkenal itu, di dalam karyanya Al-Maghazi mencatat bahwa Khalifah Abu Bakar, setelah dibawa masuk kembali dan dibaringkan, mengundang Utsman ibn ‘Affan dan memintanya menuliskan Amanatnya berbunyi :”Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Inilah perjanjian yang diikat Abu Bakar ibn Abi Kahafah terhadap kaum Muslimin. Adapun kemudian ......”
Ia mendiktekannya berupa kata demi kata, akan tetapi sampai di situ, iapun tak sadrkan dirinya. Utsman melanjutkan bunyi amanat itu berbunyi :”adapun kemudian, aku menunjuk Umar ibn Khatthab untuk penggantiku, dan hal itu untuk kebaikan semuanya.”
Belakangan iapun sadar kembali, meminta dibacakan kalimat yang sudah di diktekannya, dan ternyata Utsman ibn ‘Affan membaca keseluruhannya. Khalifah Abu Bakar mendadak Takbir sehabis mendengarkan isi keseluruhan amanat itu dan berkata kepada Utsaman : “tampakku anda khawatir bahwa orang banyak akan berbeda pendapat kembali andaikan ajalku tiba pada saat tak sadar tadi.”
“Benar”
“Semoga Allah akan memberikan imbalannya terhadap anda atas niat baik anda terhadap agama Islam dan pemelukknya.”
Ia pun mengundang Umar ibn Khatthab, dan menyampaikan amanatnya, yang amat tercatat dalam sejarah, berbunyi :
“Hai Umar ibn Khatthab : Allah memikulkan tanggungjawab pada malam hari dan jangan tangguhkan kepada siang hari, Allah memikulkan tanggungjawab pada siang hari dan jangan tangguhkan kepada malam hari.”
“Allah akan menerima amal sunat sebelum amal fardhu dilaksanakan. Bukankah anda tahu, hai Umar, bahwa daun neraca seseorang itu akan berat pada Hari Kemudian disebabkan melaksanakan Kebenaran. Bukankah anda tahu, hai Umar, bahwa daun neraca seseorang itu akan ringan pada Hari Kemudian disebabkan membela Kepalsuan.”
“Bukankah anda saksikan, hai Umar, Bahwa ayat-ayat Sukaria itu senantiasa didampingi ayat-ayat Ancaman, dan ayat-ayat Ancaman itu senantiasa didampingi ayat-ayat Sukaria. Tujuannya suapaya manusia itu gembira disertai gentar. Bergembira dengan penuh harap akan tetapi bukan terhdap hal-hal yang tidak diridhoi oleh Allah, hingga akan tidak gentar menghadap Allah kelak.”
“Bukankah anda saksikan, hai Umar, bahwa Allah bercerita tentang penderitaan penduduk Neraka. Jika anda mengingatnya maka ucapkanlah di dalam diri : janganlah aku termasuk pihak itu.”
“Bukankah anda saksikan, hai Umar, bahwa Allah bercerita tentang kebahagiaan penduduk Sorga. Jikalau anda mengingatnya maka ucapkanlah di dalam diri : aku akan beramal seperti amal mereka itu.”
“Itulah amanatku kepada anda. Jikalau anda memperpegangi amanatku itu maka mudah-mudahan anda akan tidak lebih mencintai yang tak tampak daripada yang tampak.”[4]
Setelah Abu Bakar bermusyawarah dengan para pemuka sahabat, kemudian, mengangkat Umar sebagai penggantinya dengan maksud untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan dan perpecahan di kalangan Umat Islam. Kebijakan Abu Bakar tersebut ternyata diterima masyarakat yang segera secara beramai-ramai membaiat Umar.[5]
Dalam proses penunjukan Umar sebagai Khalifah, Abu Bakar telah meminta pertimbangan para sahabat yaitu Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abdurahman bin Auf, Talhah bin Ubaidillah dan Usaid bin Kundur. Abdurahman bin Auf memberikan pertimbangan kepada Abu Bakar dengan memuji Umar dan menambahkan kekurangan Umar yang mudah marah, tetapi Abu Bakar menjelaskan bahwa Umar terlihat seperti itu agar kontras dengan kelembutan dirinya dan pada saat Umar berkuasa dia akan menjadi seorang yang lembut.
Namun sebelumnya Abu Bakar yakin bahwa banyak Kaum Muhajirin yang berpikir untuk menduduki kursi Khilafah, sebagaimana yang terjadi pada peristiwa saqifah. Di ambang ajalnya Abu Bakar pernah memperingatkan Umar tentang kaum Muhajirin dan ketamakan mereka akan kekuasaan.
Tindakan Abu Bakar dalam menentukan umur khilafah dan prinsip “suksesi” menjadi absah dalam fikih politik Sunni. Namun demikian, menurut sumber-sumber, hal ini tidak memiliki dasar dari Nabi. Ketentuan suksesi itu memberikan dua pilar bagi pemerintahan yang turun temurun (berdasarkan keturunan). Dalam pemerintahan ini, pilar pertama adalah suksesi dan pilar yang kedua adalah keluarga dan keturunan. Pilar pertamanya dalam riwayat khilafah berkaiatan dengan suatu bentuk yang sah. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Muhammad Rasyid Ridah, hal ini memunculkan khilafah turun temurun di masa Bani Umayah.
Pernyataan tertulis Abu Bakar secara praktis menunjuk Umar sebagai Khalifah. Oleh karena itu, kesetiaan penduduk tidak berpengaruh dalam pemerintahannya. Akhirnya, kita harus mengatakan bahwa sikap tidak setuju sebagian penduduk tidak lantas berarti dia tidak bisa menjadi seorang khalifah.
Dalam pembaitannya sebagai khalifah, Umar berjanji tidak akan mengambil apa pun dari harta negara maupun dari rampasan pertempuran, mensejahterakan rakyatnya (akan menaikkan upah dan gaji seiiring uang yang masuk ke kas negara), akan menjaga keluarga para prajurit muslim yang berangkat ke medan perang.
Biografi
Sebelum memeluk Islam, Umar adalah orang yang sangat disegani dan dihormati
oleh penduduk Mekkah, sebagaimana tradisi yang dijalankan oleh kaum jahiliyah
Mekkah saat itu, Umar juga mengubur putrinya hidup-hidup sebagai bagian dari
pelaksanaan adat Mekkah
yang masih barbar. Setelah memeluk Islam di bawah Nabi
Muhammad S.A.W., Umar dikabarkan menyesali perbuatannya dan
menyadari kebodohannya saat itu sebagaimana diriwayatkan dalam satu hadits "Aku
menangis ketika menggali kubur untuk putriku. Dia maju dan kemudian menyisir janggutku".Umar juga dikenal sebagai seorang peminum berat, beberapa catatan mengatakan bahwa pada masa pra-Islam (Jahiliyyah), Umar suka meminum anggur. Setelah menjadi seorang Muslim, ia tidak menyentuh alkohol sama sekali, meskipun belum diturunkan larangan meminum khamar (yang memabukkan) secara tegas.
Memeluk Islam
Ketika Nabi Muhammad S.A.W.
menyebarkan Islam secara terbuka di Mekkah, Umar bereaksi sangat antipati
terhadapnya, beberapa catatan mengatakan bahwa kaum Muslim saat
itu mengakui bahwa Umar adalah lawan yang paling mereka perhitungkan, hal ini
dikarenakan Umar yang memang sudah mempunyai reputasi yang sangat baik sebagai
ahli strategi perang dan seorang prajurit yang sangat tangguh pada setiap
peperangan yang ia lalui. Umar juga dicatat sebagai orang yang paling banyak
dan paling sering menggunakan kekuatannya untuk menyiksa pengikut Nabi Muhammad
S.A.W.Pada puncak kebenciannya terhadap ajaran Nabi Muhammad S.A.W., Umar memutuskan untuk mencoba membunuh Nabi Muhammad S.A.W., namun saat dalam perjalanannya ia bertemu dengan salah seorang pengikut Nabi Muhammad S.A.W. bernama Nu'aim bin Abdullah yang kemudian memberinya kabar bahwa saudara perempuan Umar telah memeluk Islam, ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad S.A.W. yang ingin dibunuhnya saat itu. Karena berita itu, Umar terkejut dan pulang ke rumahnya dengan dengan maksud untuk menghukum adiknya, diriwayatkan bahwa Umar menjumpai saudarinya itu sedang membaca Al Qur'an surat Thoha ayat 1-8, ia semakin marah akan hal tersebut dan memukul saudarinya. Ketika melihat saudarinya berdarah oleh pukulannya ia menjadi iba, dan kemudian meminta agar bacaan tersebut dapat ia lihat, diriwayatkan Umar menjadi terguncang oleh apa yang ia baca tersebut, beberapa waktu setelah kejadian itu Umar menyatakan memeluk Islam, tentu saja hal yang selama ini selalu membelanyani membuat hampir seisi Mekkah terkejut karena seseorang yang terkenal paling keras menentang dan paling kejam dalam menyiksa para pengikut Nabi Muhammad S.A.W. kemudian memeluk ajaran yang sangat dibencinya tersebut, akibatnya Umar dikucilkan dari pergaulan Mekkah dan ia menjadi kurang atau tidak dihormati lagi oleh para petinggi Quraisy yang selama ini diketahui selalu membelanya.
Kehidupan di Madinah
Pada tahun 622 M, Umar ikut bersama Nabi Muhammad S.A.W. dan pemeluk Islam
lain berhijrah
(migrasi) (ke Yatsrib
(sekarang Madinah)
. Ia juga terlibat pada perang Badar, Uhud, Khaybar
serta penyerangan ke Syria. Ia dianggap sebagai seorang yang paling disegani
oleh kaum Muslim pada masa itu karena selain reputasinya yang memang terkenal
sejak masa pra-Islam, juga karena ia dikenal sebagai orang terdepan yang selalu
membela Nabi Muhammad S.A.W. dan ajaran Islam pada setiap kesempatan yang ada
bahkan ia tanpa ragu menentang kawan-kawan lamanya yang dulu bersama mereka ia
ikut menyiksa para pengikutnya Nabi Muhammad S.A.W.
Wafatnya Nabi Muhammad
Pada saat kabar wafatnya Nabi Muhammad S.A.W. pada 8 Juni 632 M (12
Rabiul Awal, 10 Hijriah) suasana sedih dan haru menyelimuti kota Madinah,sambil
berdiri termenung Umar dikabarkan sebagai salah seorang yang paling terguncang
atas peristiwa itu, ia menghambat siapapun memandikan atau menyiapkan jasadnya
untuk pemakaman. Akibat syok yang ia terima, Umar berkata "Sesungguhnya
beberapa orang munafik menganggap bahwa Nabi Muhammad saw.telah
wafat.Sesungguhnya beliau tidak wafat,tetapi pergi ke hadapan Tuhannya,seperti
dilakukan Musa bin Imran yang pergi dari kaumnya.Demi Allah dia benar-benar
akan kembali.Barang siapa yang beranggapan bahwa beliau wafat,kaki dan
tangannya akan kupotong."Abu Bakar yang mendengar kabar bergegas kembali dari Madinah, ia menjumpai Umar sedang menahan Muslim yang lain dan lantas mengatakan
"Saudara-saudara! Barangsiapa mau menyembah Nabi
Muhammad S.A.W., Nabi Muhammad S.A.W. sudah meninggal dunia. Tetapi barangsiapa
mau menyembah Allah, Allah hidup selalu tak pernah mati!"
—Abu Bakar ash-Shiddiq
Abu Bakar mengingatkan kepada para pemeluk Islam yang sedang terguncang,
termasuk Umar saat itu, bahwa Nabi Muhammad S.A.W., seperti halnya mereka,
adalah seorang manusia biasa, Abu Bakar kemudian membacakan ayat dari Al Qur'an[3]
dan mencoba untuk mengingatkan mereka kembali kepada ajaran yang diajarkan Nabi
Muhammad S.A.W. yaitu kefanaan makhluk yang diciptakan. Setelah peristiwa itu
Umar menyerah dan membiarkan persiapan penguburan dilaksanakan.
Masa kekhalifahan Abu Bakar
Pada masa Abu Bakar menjabat sebagai khalifah, Umar merupakan salah satu
penasehat kepalanya. Setelah meninggalnya Abu Bakar pada tahun 634, Umar
ditunjuk untuk menggantikan Abu Bakar sebagai khalifah kedua dalam sejarah
Islam.
Menjadi khalifah
Selama pemerintahan Umar, kekuasaan Islam tumbuh dengan sangat pesat. Islam
mengambil alih Mesopotamia dan sebagian Persia dari tangan dinasti Sassanid
dari Persia (yang mengakhiri masa kekaisaran sassanid) serta mengambil alih Mesir, Palestina,
Syria,
Afrika
Utara dan Armenia dari kekaisaran Romawi
(Byzantium).
Saat itu ada dua negara adi daya yaitu Persia dan Romawi. Namun keduanya telah
ditaklukkan oleh kekhalifahan Islam dibawah pimpinan Umar.Sejarah mencatat banyak pertempuran besar yang menjadi awal penaklukan ini. Pada pertempuran Yarmuk, yang terjadi di dekat Damaskus pada tahun 636, 20 ribu pasukan Islam mengalahkan pasukan Romawi yang mencapai 70 ribu dan mengakhiri kekuasaan Romawi di Asia Kecil bagian selatan. Pasukan Islam lainnya dalam jumlah kecil mendapatkan kemenangan atas pasukan Persia dalam jumlah yang lebih besar pada pertempuran Qadisiyyah (th 636), di dekat sungai Eufrat. Pada pertempuran itu, jenderal pasukan Islam yakni Sa`ad bin Abi Waqqas mengalahkan pasukan Sassanid dan berhasil membunuh jenderal Persia yang terkenal, Rustam Farrukhzad.
Pada tahun 637, setelah pengepungan yang lama terhadap Yerusalem, pasukan Islam akhirnya mengambil alih kota tersebut. Umar diberikan kunci untuk memasuki kota oleh pendeta Sophronius dan diundang untuk salat di dalam gereja (Church of the Holy Sepulchre). Umar memilih untuk salat ditempat lain agar tidak membahayakan gereja tersebut. 55 tahun kemudian, Masjid Umar didirikan ditempat ia salat.
Umar melakukan banyak reformasi secara administratif dan mengontrol dari dekat kebijakan publik, termasuk membangun sistem administrasi untuk daerah yang baru ditaklukkan. Ia juga memerintahkan diselenggarakannya sensus di seluruh wilayah kekuasaan Islam. Tahun 638, ia memerintahkan untuk memperluas dan merenovasi Masjidil Haram di Mekkah dan Masjid Nabawi di Medinah. Ia juga memulai proses kodifikasi hukum Islam.
Umar dikenal dari gaya hidupnya yang sederhana, alih-alih mengadopsi gaya hidup dan penampilan para penguasa di zaman itu, ia tetap hidup sangat sederhana.
Pada sekitar tahun ke 17 Hijriah, tahun ke-empat kekhalifahannya, Umar mengeluarkan keputusan bahwa penanggalan Islam hendaknya mulai dihitung saat peristiwa hijrah.
Wafatnya
Umar bin Khattab dibunuh oleh Abu Lukluk
(Fairuz), seorang budak yang fanatik pada saat ia akan memimpin salat Subuh.
Fairuz adalah orang Persia
yang masuk Islam
setelah Persia
ditaklukkan Umar. Pembunuhan ini konon dilatarbelakangi dendam pribadi Abu
Lukluk (Fairuz) terhadap Umar. Fairuz merasa sakit hati atas kekalahan Persia,
yang saat itu merupakan negara adidaya, oleh Umar. Peristiwa ini terjadi pada
hari Rabu, 25 Dzulhijjah 23 H/644 M. Setelah wafat, jabatan khalifah dipegang
oleh Usman bin Affan.Semasa Umar masih hidup Umar meninggalkan wasiat yaitu[butuh rujukan]:
- Bila engkau
menemukan cela pada seseorang dan engkau hendak mencacinya, maka cacilah
dirimu. Karena celamu lebih banyak darinya.
- Bila engkau
hendak memusuhi seseorang, maka musuhilah perutmu dahulu. Karena tidak ada
musuh yang lebih berbahaya terhadapmu selain perut.
- Bila engkau
hendak memuji seseorang, pujilah Allah. Karena tiada seorang manusia pun
lebih banyak dalam memberi kepadamu dan lebih santun lembut kepadamu
selain Allah.
- Jika engkau
ingin meninggalkan sesuatu, maka tinggalkanlah kesenangan dunia. Sebab
apabila engkau meninggalkannya, berarti engkau terpuji.
- Bila engkau
bersiap-siap untuk sesuatu, maka bersiaplah untuk mati. Karena jika engkau
tidak bersiap untuk mati, engkau akan menderita, rugi ,dan penuh
penyesalan.
- Bila engkau
ingin menuntut sesuatu, maka tuntutlah akhirat. Karena engkau tidak akan
memperolehnya kecuali dengan mencarinya.
No comments:
Post a Comment